Setiap orang tua tentu ingin yang terbaik untuk buah hatinya. Sayangnya, dalam proses mendidik tak jarang perbandingan itu muncul. Entah membandingkan anak dengan saudara kandung, teman sekelas, atau dengan diri kita di masa lalu.
Misalnya dengan kalimat menyinggung seperti, “Lihat tuh kakakmu, bisa jadi juara kelas. Kamu kapan kayak dia?”.
Harapannya mungkin sederhana agar anak termotivasi untuk menjadi lebih baik. Namun tanpa disadari, kebiasaan ini justru bisa menyisakan luka mendalam.
Baca Juga : Jangan Jadi Tone Deaf Ya, Bun! Yuk Belajar Berempati pada Perasaan Anak
Pertanyaannya, apakah membandingkan anak itu selalu berarti buruk?
Psikolog Anak dan Remaja, Fitri Andriyani, M.Psi., Psikolog mengatakan bahwa membandingkan itu tidak selalu berarti buruk. Tergantung bagaimana cara orang tua menyampaikannya.
“Semua itu bersifat dinamis, tergantung bagaimana proses membandingkan dan caranya. Jika disampaikan dengan kurang tepat, anak bisa merasa minder bahkan terluka. Tapi bila dilakukan dengan cara bijak, perbandingan justru bisa menjadi dorongan positif bagi mereka,” ungkap Fitri.
Motivasi vs Perbandingan yang Menyakitkan, Begini Cara Membedakannya!
Psikolog yang tergabung dalam @psikologanak.id menegaskan orang tua harus paham cara membandingkan yang tepat. Mulai dari penyampaian, pemilihan kata, gestur, ekspresi wajah, dan waktu.
“Saat emosi, Bunda cenderung membandingkan anak dengan cara yang negatif. Emosi yang meluap membuat kata-kata terlontar tanpa disaring dan hal ini jarang sekali bisa memotivasi anak,” tegasnya.
Menurut Fitri, pemilihan kata saat membandingkan juga sangat mempengaruhi respons anak. Kalimat seperti, “Kakak hebat ya, bisa menjadi juara kelas. Adik ingin seperti kakak juga?” tentu akan lebih diterima baik dibanding, “Tuh lihat kakak aja bisa jadi juara kelas. Kamu kok nggak bisa gitu juga?”.
Memperhatikan hal spesifik yang akan dikoreksi atau ditanamkan secara apple to apple juga bisa jadi kunci supaya anak bisa menemukan motivasi dalam dirinya.
Dampak Jangka Panjang Membandingkan Anak
Ada dua poin penting yang dapat dibahas ketika membicarakan dampak.
Jika orang tua membandingkan secara apple to apple, anak cenderung lebih termotivasi. Misalnya saat membandingkan ia dengan kakaknya yang juara kelas, maka fokuslah pada cara belajar dan konsistensinya, bukan hal lain seperti sifat atau kebiasaannya..
Selain dampak positif, membandingkan juga bisa berdampak negatif jika disampaikan dengan cara yang salah—baik pada hubungan anak dengan orang tua, maupun dengan sosok yang jadi perbandingan.
“Anak bisa kehilangan kepercayaan pada orang tua, hubungan jadi renggang dan komunikasi tak lagi efektif. Ia cenderung memberontak, minder, tidak fokus, hingga sulit mandiri. Akhirnya, orang tua menganggap anak nakal, sementara anak merasa orang tuanya toxic,” papar Fitri.
Cara Mendukung Perkembangan Anak Tanpa Menjadikannya Kompetitor bagi Saudara atau Anak Lain
Membahas hal di atas, psikolog yang juga berpraktik di RSU Hermina Arcamanik menekankan dua hal yang menjadi perhatian.
Pertama, kesediaan orang tua. Kesediaan untuk lebih terbuka, memahami perasaan anak dan menjadi contoh yang baik untuk mereka.
“Orang tua harus mau menempatkan diri di posisi anak. Bagaimana rasanya jika terus dibandingkan atau diperlakukan seperti itu,” katanya.
Kedua, pahami anak secara menyeluruh. Orang tua perlu mengenali kondisi fisik, potensi, gaya belajar hingga emosinya. Sebab seiring bertambahnya usia, pola asuh pun harus disesuaikan.
“Kalau ingin bekerja sama dengan anak, kita lah yang harus berusaha mengenalnya lebih dalam. Jangan langsung merasa paling tahu, karena bisa jadi justru orang tualah yang paling tidak tahu dan tidak memahami kondisi anak,” tegas Fitri.
Di akhir kesempatan, Fitri berpesan kepada para orang tua yang pernah terlanjur membandingkan anak dan kini ingin memperbaiki cara berkomunikasi dengan mereka.
“Yang ingin saya sampaikan, orang tua tak perlu terus-menerus merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi. Wajar jika kita sebagai manusia punya kecenderungan membandingkan dan memiliki ekspektasi. Meski niatnya baik, tapi penting diingat, motivasi terbaik adalah yang tumbuh dari dalam diri anak sendiri, bukan hasil paksaan. Tugas orang tua adalah mendampingi dan memfasilitasi, bukan mendorong anak menjadi duplicate orang lain. Dengan menghayati posisi anak, orang tua bisa membantu mereka tumbuh menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri,” tutup Fitri.