Kita pasti pernah mendengar kalimat, “Kamu harus buat bangga Ayah dan Bunda, jangan bikin malu!” atau “Kamu tuh harus nurut, Ayah dan Bunda tuh udah paling tau!“. Kalimat seperti ini mungkin terdengar biasa, tapi bisa jadi bentuk manipulasi emosional dari pola parenting narsistik.
Sebenarnya apa sih yang dimaksud parenting narsistik? Seperti apa ciri-cirinya dan bagaimana dampaknya pada perkembangan serta kesehatan mental anak? Yuk simak penjelasannya!
Parenting Narsistik: Pola Asuh yang Tak Disadari Banyak Orang Tua
Parenting narsistik merupakan pola asuh yang dijalankan oleh orang tua dengan kecenderungan narsistik. Hal ini ditandai dengan dominasi, pengendalian dan manipulasi emosi orang tua.
Orang tua yang menjalankan pola asuh ini seringkali menjadikan anak sebagai cerminan pencapaian pribadi bahkan pemuas ambisi. Mereka menuntut hasil yang sempurna dan sesuai ekspektasi tanpa menyadari dampaknya pada kesehatan mental anak.
Dalam pola asuh ini juga, orang tua tidak benar-benar melihat anak sebagai individu yang unik dengan kebutuhan diterima dan disayang, melainkan sebagai alat untuk mencapai validasi sosial, status, atau rasa bangga pribadi.
Baca Juga : Benarkah Membandingkan Anak Bisa Bikin Dia Lebih Sukses? Ini Jawabannya!
Berikut ciri-ciri orang tua dengan kecenderungan narsistik :
- Mengontrol keputusan anak demi memenuhi keinginan pribadi
- Menjadikan anak sebagai tolak ukur keberhasilan
- Menjadikan anak sebagai “pajangan” atau pencapaian yang bisa dipamerkan
- Mengejar pujian lewat prestasi anak
- Memberikan kasih sayang yang bersyarat (hanya mencintai saat anak berprestasi atau sesuai ekspektasi)
- Mengabaikan kebutuhan emosional anak, terutama ketika anak menunjukkan pendapat berbeda atau kelemahan
Dampak Pola Asuh Narsistik bagi Perkembangan Anak
Pola asuh narsistik mungkin tidak langsung terlihat berbahaya, namun berdampak besar bagi perkembangan emosional dan psikologis anak hingga dewasa. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan ini sering kali mengalami kebingungan dalam membentuk identitas diri dan memiliki luka batin yang sulit disembuhkan.
Pasalnya dengan pola yang diterapkan anak akan berpikir bahwa ia hanya disayang ketika berhasil, hanya dicintai ketika meraih sebuah pencapaian dan harus menjadi yang sempurna untuk mendapatkan cinta orang tua.
Selain itu, berikut beberapa dampak pola asuh narsistik bagi perkembangan anak :
1. Tumbuh Menjadi People Pleaser
People pleaser adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki kecenderungan untuk menyenangkan orang lain. Mereka akan mengutamakan keinginan orang lain dan mengorbankan diri sendiri untuk menghindari konflik.
Anak yang tumbuh menjadi people pleaser akan terbiasa mengutamakan keinginan orang tua demi mendapatkan cinta atau pengakuan. Mereka akan sulit berkata “tidak” dan sering merasa bersalah jika tidak bisa memenuhi ekspektasi orang tua.
2. Anak Menjadi Kurang Percaya Diri
Saat terbiasa menerima pola asuh narsistik bukan tidak mungkin anak memiliki rasa minder. Sebab yang mereka terima hanya cinta bersyarat. Mereka tidak akan merasa cukup kecuali saat berhasil.
Selain itu, anak juga bisa kehilangan kesempatan untuk mengeksplorasi minat, nilai, dan kepribadiannya sendiri. Alhasil mereka tumbuh jadi pribadi yang tidak percaya diri.
3. Anak Sering Overthinking
Tekanan yang diberikan orang tua secara terus menerus akan membuat anak takut melakukan kesalahan. Akibatnya, mereka cenderung overthinking dalam mengambil keputusan atau menghindari tantangan baru.
4. Anak Tidak Bisa Mengambil Keputusan Sendiri
Karena sering disetir orang tua, anak kehilangan kehilangan kesempatan untuk menentukan pilihan hidupnya. Sehingga ketika dewasa, mereka merasa ragu dan tidak percaya pada insting atau keinginannya sendiri.
Bagaimana Caranya Agar Orangtua Tidak Terjebak Pola Asuh Ini?
Pertanyaannya, bagaimana cara yang harus dilakukan orang tua agar tidak terjebak pola asuh ini?
Pertama, untuk mencegah parenting narsistik, Ayah dan Bunda harus mulai menyadari dan memahami bahwa anak adalah individu yang utuh. Mereka bukan alat pemuas ego atau cermin diri orang tua.
Kedua, biarkan anak tumbuh sebagai dirinya sendiri dengan memilih jalan hidup dan karakternya. Tanamkan bahwa keberhasilan atau kegagalan anak bukan tolak ukur harga diri orang tua.
Ketiga, cintai anak dengan tulus. Anak perlu tahu bahwa mereka tetap dicintai apa pun kondisinya.
Keempat, Ayah dan Bunda perlu memvalidasi emosi anak. Dengarkan pendapat mereka dan ajak diskusi. Dengan begini, anak akan merasa lebih dihargai sehingga rasa percaya dirinya terbangun.
Terakhir, hindari terlalu mengontrol hidup anak. Cukup arahkan, bukan menyetir agar sesuai kehendak orang tua. Sebab anak memiliki hak untuk belajar, memilih, dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.