Sejatinya, perpisahan memang bukan hal yang diharapkan setiap pasangan.
Namun entah karena perceraian atau kematian, keutuhan sebagai keluarga sempurna yang terdiri dari Ayah, Bunda dan anak pun terpaksa harus tinggal kenangan.
Meski terasa berat, hidup harus terus berjalan. Itu sebabnya, segera sudahi rasa sedih dan berhenti meratapi keadaan. Mulailah menerima status menjadi single parent dan bangunlah masa depan yang cerah bersama buah hati.
Atasi ketakutan
Menurut psikolog anak dan keluarga, Kurniasih, M.Psi, ketakutan adalah hal utama yang paling sering dirasakan oleh seorang single parent.
Pasalnya, menjadi orang tua tunggal memang tak mudah. Mulai dari mengasuh anak hingga mencari nafkah semua dilakukan sendiri.
“Hal inilah yang sering menjadi sumber ketakutan bagi seorang single parent,” kata Asih.
Lebih lanjut Asih mengatakan bahwa ketakutan tersebut akan lebih memuncak ketika single parent tak memiliki rencana masa depan.
Karena itu Asih menyarankan ketika menjadi single parent, hal pertama yang harus dilakukan adalah mencoba berdamai dengan keadaan dan mulai menerima kenyataan.
Setelah itu, mulai gali potensi diri dan tetapkan tujuan atau goals di masa depan. Meski berstatus single parent, bukan berarti semua hal harus dilakukan sendiri.
“Kebanyakan single parent sering terjebak pada pemikiran jika semuanya harus dilakukan dan ditanggung sendiri. Padahal disekitarnya ada banyak support system yang bisa membantu. Misalnya, adik, kakak, kakek, dan nenek yang dapat ikut membantu mengasuh si kecil saat orang tuanya bekerja,” jelas Asih.
Selain itu, lanjut Asih, ada sahabat yang selalu siap memberikan semangat, dan yang terpenting ada Tuhan yang akan selalu memberikan jalan terbaik.
Support system itulah yang seharusnya ada dalam pikiran seorang single parent. Dengan demikian mereka dapat mulai berpikir positif dan merencanakan masa depan.
Diyakini Asih, memperbaiki pola pikir dan tidak mengasihani diri sendiri secara terus menerus akan sangat membantu meringankan beban sebagai single parent.
“Dengan pola pikir yang positif, ketakutan akan suramnya masa depan secara perlahan dapat hilang,” lanjutnya.
Single parent akibat perceraian
Khusus untuk single parent akibat perceraian, Asih menjelaskan idealnya kedua orang tua yang berpisah sepakat untuk memiliki fokus pada sudut pandang yang sama, yaitu ‘demi kebaikan anak’.
Dengan fokus pada sudut pandang tersebut, orang tua yang akan atau sudah bercerai akan tetap memiliki kesadaran bahwa meski hubungan sebagai suami istri sudah putus, namun hubungan dengan anak tetap bertahan selamanya.
Asih juga menggarisbawahi pentingnya perjanjian pengasuhan (parenting agreement). “Ya, tujuannya tentu untuk mengurangi konflik antara Ayah dan Bunda ketika sudah bercerai,” imbuhhnya.
Parenting agreement setiadaknya harus mencakup poin tentang di mana anak akan tinggal, siapa yang bertanggungjawab menanggung biaya pendidikan dan biaya medis, siapa yang akan meluangkan waktu bersama anak di hari liburnya, dan sepakat untuk tidak saling menjelekkan mantan pasangan di depan si kecil.
“Dengan kesepakatan tersebut, menunjukkan bahwa orang tua sama-sama berpikir dewasa, bijaksana, serta tetap memprioritaskan kebahagiaan anak meski sudah tak tinggal satu atap,” kata Asih.
Menjaga kesehatan mental anak
Selama ini anak yang diasuh oleh single parent kerap kali diidentikan sebagai anak yang rentan mengalami penderitaan psikologis.
Alasannya, tak lain karena kekosongan figur Bunda atau Ayah akan turut mengganggu kesehatan mentalnya.
Padahal masalah psikologis seperti itu sejatinya juga bisa terjadi pada keluarga yang utuh sekalipun.
“Misalnya anak memiliki orangtua yang lengkap. Lalu orangtuanya kurang perhatian, cuek atau terlalu keras pada anak. Apakah psikologis anak juga tak menderita? Kan itu sama saja,” tambahnya.
Pada kasus single parent, kekosongan figur diakui Asih memang berpotensi membuat anak mengalami masalah emosi yang merupakan ekspresi dari rasa sakit dan kemarahan si kecil akibat hilangnya salah satu orang tua.
Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, dapat mempengaruhi prilaku anak. Misalnya mereka jadi pemarah, mudah meledak-ledak, atau sebaliknya menjadi pemurung dan pendiam.
Alhasil prestasi belajarnya juga jadi kurang maksimal. Anak pun cenderung menjadi pribadi yang rendah diri serta kesulitan untuk bergaul dengan orang lain.
“Tapi jangan takut, masalah tersebut sebenarnya bisa diatasi kok, asal tercipta suasana yang sehat di rumah. Di antaranya selalu menjalin komunikasi yang baik dengan anak, mengajak anak berdiskusi tentang perasaanya sehingga rasa sakit, kemarahan dan kebingungannya, jadilah tempat untuk anak bercerita dan tanggapi ceritanya dengan penuh empati. Dengan demikian, rasa kehilangan salah satu figur pada anak akan berangsur-angsur akan hilang,” tutupnya.