Mencukur rambut atau menggunduli kepala bayi memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia. Sebagian melakukannya untuk mengikuti tradisi budaya atau agama. Sebagian lagi karena berharap dapat mempertebal atau membuat ikal rambut sang buah hati.
Namun sejauh ini, belum banyak yang tahu seberapa pentingkah mencukur rambut bayi tersebut. Kapankah harus mencukur rambut bayi? Berapa banyak rambut yang harus dicukur? Apakah benar nantinya akan memengaruhi pertumbuhan rambut bayi saat dewasa? Dan segudang pertanyaan lainnya kerap menghantui para Ibu.
Menurut dr. Wiyarni Pambudi, SpA, IBCLC, mencukur rambut bayi sebenarnya sangat diajurkan. Tapi bukan karena perkara untuk memenuhi mitos, melainkan lebih pada manfaatnya bagi kesehatan bayi dan perkembangan sel otaknya.
“Rambut yang lebih pendek atau bahkan botak bisa membuka pori-pori di kepala bayi. Meningkatan aliran darah ke kepala, sehingga kebutuhan otak akan oksigen dan nutrisi tercukupi. Proses perkembangan serta pematangan otak pun dapat lebih optimal,” papar dokter Wiyarni.
Selain itu, manfaat lainnya adalah tercukupinya pasokan nutrisi ke dalam folikel rambut yang mampu merangsang perbaikan dan pertumbuhan rambut. Dengan dicukur, kulit kepala dan rambut bayi pun bisa lebih sehat, kuat, indah dan bercahaya.
Apabila rambut bayi dibiarkan panjang, lanjut dokter Wiyarni, bisa saja menutupi mata dan akan mengganggu adaptasi visualnya. Bahkan bila ujung rambut sering mengenai kornea mata, dapat menimbulkan jaringan parut pada kornea sehingga menyebabkan gangguan penglihatan yang disebut visus.
Sementara rambut sekeliling telinga yang terlalu panjang sering kali menimbulkan iritasi dan luka pada liang telinga. Luka tersebut rentan dengan infeksi yang bila didiamkan akan menimbukan gangguan pendengaran dan keseimbangan.
Lantas, kapankah waktu yang tepat untuk memotong rambut bayi?
Sebenarnya tidak ada aturan yang baku kapan potong rambut bayi harus dilakukan. Masing-masing agama dan kebudayaan memiliki waktu yang berbeda.
Umat muslim misalnya, mencukur rambut bayi pada hari ketujuh. Sedangkan umat Budha, masyarakat Cina, Jawa, dan Thailand, percaya untuk melakukan pencukuran saat bayi berusia 1 bulan atau 40 hari.
Semuanya sah-sah saja, asalkan dalam pengerjaannya dilakukan dengan hati-hati dan tidak melukai sang bayi.
Sedangkan mengenai mitos soal rambut baru yang akan tumbuh keriting atau ikal setelah dipotong, sebetulnya tidak ada kaitannya. Sebab ikal atau lurusnya rambut bayi tergantung pada faktor genetik, bukan karena pencukuran.
“Sama halnya seperti ikal atau tidaknya rambut bayi, dari kacamata medis lebat atau tipisnya rambut bayi juga bergantung pada faktor genetik. Tapi kemungkinan bila rambut bayi dicukur habis, maka nantinya rambut baru yang tumbuh tampak agak kasar. Itu barangkali sangkaan orangtua tentang rambut menjadi lebih tebal seusai dicukur,” ujar dokter Wiyarni.
Meski demikian, jangan berkecil hati. Walaupun tidak ada kecenderungan genetik berambut tebal, bukan berarti anak yang nantinya dilahirkan sudah pasti akan berambut tipis.
Pasalnya selain faktor genetik, asupan nutrisi ternyata juga berkaitan erat dengan tebal tipisnya rambut. Karena itu, pastikan pada saat hamil, bayi yang dikandung menerima protein (telur, ikan, daging, susu, kacang-kacangan), asam lemak omega-3 (ikan salmon, kacang kenari, minyak ikan, kedelai, kembang kol), zat besi (lentil, bayam, kacang merah, tomat, kentang) serta vitamin (buah-buahan, sayuran, kacang hijau, gandum).
Di samping itu, ada baiknya semasa hamil sang ibu rajin mengkonsumsi kacang hijau. Sebab kacang hijau mengandung protein tinggi yang dapat memberikan pengaruh terhadap ketebalan rambut bayi.
“Pertumbuhan sel-sel tubuh termasuk sel rambut memerlukan gizi yang baik terutama protein, karena kacang hijau kaya akan protein maka keinginan untuk mempunyai bayi berambut tebal bisa terwujud bila si ibu rajin mengkonsumsinya,” tutup dokter Wiyarni.