check it now

Mengenal Bahaya Toxic Parenting

Seringkali orangtua terlalu menuntut kesempurnaan, sehingga tanpa sadar telah menjalankan pola toxic parenting yang membuat anak menderita.

Daftar Isi Artikel

Setiap orangtua tentu ingin memiliki buah hati yang berprestasi dalam segala hal, baik akademik maupun non-akademik. Alhasil tidak sedikit yang tanpa sadar memaksakan kehendak kepada anak, sehingga terkadang  bersikap melampaui batas. Cara seperti itu justru bisa membuat orangtua menganut pola toxic parenting lho. Apa itu?

Psikolog Anak Tanti Diniyanti Psi dari RSIA Bina Medika, menjelaskan bahwa toxic parenting adalah pola asuh orangtua kepada anak yang turut diwarnai dengan kekerasan, baik fisik maupun psikis secara berulang, sehingga membuat kehidupan keluarga menjadi tidak berfungsi atau disfunctional family.

“Misalnya, Ayah tidak berfungsi layaknya Ayah yang selalu melindungi dan menjaga serta Ibu tidak berfungsi layaknya Ibu yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang. Hal tersebut tentu berdampak pada anak. Contoh lainnya, orangtua terlalu menuntut kesempurnaan pada anak,” jelasnya.

Dalam kasus toxic parenting, orangtua akan selalu menyoroti kesalahan anak. Padahal, dalam proses tumbuh kembang, seorang anak melakukan kesalahan adalah hal yang wajar. Jika anak melakukan kesalahan, orangtua seharusnya fokus pada solusi agar anak bisa memperbaiki kesalahan tadi. Namun berbeda dengan toxic parenting, orangtua justru selalu menyalahkan dan memarahi anak tanpa memberi tahu apa dan bagaimana solusi yang harus dilakukan.

“Memarahi anak saat mereka melakukan kesalahan tentu sah-sah saja, selama marah tersebut merupakan bentuk ketegasan dan masih dalam batas wajar. Namun, jika marah diwarnai dengan aksi kekerasan, tidak harus fisik tapi bisa juga verbal, bisa membuat anak menjadi tersudut dan tertekan, itu yang perlu dibenahi,” tegas Tanti.

Ciri Toxic Parents

sumber: freepik

Tanti menjelaskan, biasanya orangtua yang toxic lebih berambisi menjadikan anak sebagai sosok yang sempurna. Tidak peduli sedikitpun dengan kondisi dan kemampuan yang dimiliki anak. Bila anak berhasil mencapai prestasi yang sesuai keinginan, maka orangtua akan membanggakan pencapaian tersebut seolah-olah karena didikan mereka.

Selain itu, orangtua yang toxic juga tidak bisa mengontrol perilaku dan mudah tersulut emosi bahkan dengan masalah yang sepele sekalipun. Misalnya, saat anak tidak menghabiskan makanan, maka orangtua yang toxic bisa jadi langsung memarahi anak, sehingga membuat anak merasa tidak nyaman.

Anak juga tidak memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri, karena orangtua selalu ingin mengendalikan setiap tindakan anak. Orangtua yang toxic tidak akan mendengarkan apapun alasan yang diberikan anak, dan komunikasi pun jadinya hanya satu arah.

“Orangtua yang sehat akan menyadari bila mereka berbuat kesalahan dalam pengasuhan dan berusaha memperbaiki, sehingga tidak mengulangi lagi. Berbeda dengan orangtua yang toxic, mereka cenderung sulit berubah dan tidak memiliki awarness dengan pola asuh yang keliru tadi. Alhasil mereka selalu merasa menjadi orangtua yang paling benar dan apa yang mereka lakukan itulah yang terbaik bagi anak,” paparnya.

Dampak Toxic Parenting

Masih menurut Tanti, dalam situasi ekstrem tadi (orangtua terlalu mengkritik atau memarahi anak), kebutuhan psikologis dasar anak jadi tidak terpenuhi, sehingga anak akan merasa tertekan.

“Pada usia 5 tahun pertama ada kebutuhan emosi dasar anak yang harus dipenuhi. Di antaranya rasa aman, rasa sayang, dilindungi, serta dikenali dengan emosi-emosi yang muncul. Dalam kasus toxic parenting ini, kebutuhan emosi dasar tersebut tidak bisa terpenuhi sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang tidak bahagia atau bahkan terganggu mentalnya,” tukas Tanti.

Selain itu, pola asuh yang toxic juga akan membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang tidak mengenal rasa bahagia, tidak bisa membedakan sedih yang sesungguhnya seperti apa karena mereka sering mendapat kekerasan sehingga batinnya sudah kebal.

Selain itu, anak juga akan merasa kebingungan dengan sikap orangtuanya. Mereka bingung karena seharusnya orangtua memberikan rasa cinta dan kasih sayang, tapi kenapa justru selalu memarahi, membentak dan berperilaku kasar kepada mereka.

Dengan pola asuh seperti itu, Tanti khawatirn, saat anak tumbuh dewasa, mereka menjadi sosok yang sulit menerima kasih sayang dari orang lain. Dampak terburuknya anak berpotensi memiliki perilaku yang anarkis seiring bertambah usia. Anak bisa melihat kekerasan sebagai hal wajar untuk menyelesaikan suatu masalah.

Evaluasi

Karena itu, Tanti menyarankan orangtua untuk mengevaluasi diri dan mengevaluasi pola asuh yang sudah dijalankan. Menghilangkan perilaku toxic memang bukan pekara mudah, tetapi bukannya tidak mungkin. Hal yang perlu dilakukan orangtua adalah membangun awarness bagaimana pola asuh yang sehat dan bisa diterima oleh anak.

Selain itu, Tanti menyarankan agar orangtua sering-sering berbagi dan belajar ilmu pengasuhan sebanyak mungkin dari ahlinya. Pasalnya, ilmu pengasuhan sangat banyak dan tidak semuanya tepat diberikan kepada anak.

Selain itu, orangtua juga perlu merefleksikan kembali tujuan hadirnya anak dalam kehidupan agar perilaku-perilaku toxic tidak terjadi.

“Menerima dan belajar adalah kuncinya. Keluarga yang berfungsi atau functional family tahu tujuan dari pengasuhan itu sendiri. Bangunlah kesadaran bahwa anak adalah titipan yang harus dijaga dan jangan sungkan untuk terus belajar menjadi orangtua yang baik bagi anak,” tegas Tanti.

Terapi Anak

Bagaimana bila anak sudah terlanjur mendapatkan pola asuh yang toxic? Menurut Tanti, anak harus mendapatkan healing atau terapi untuk menyembuhkan trauma masa kecil. Dalam hal ini, fokus pada pengelolaan emosi anak. Hal tersebut dapat dilakukan saat anak sudah mulai mengerti dan beranjak dewasa.

Bagaimana bila anak tersebut masih di usia sekolah yang tidak memiliki kemampuan untuk speak up?

“Nah, di sinilah peran orang-orang di lingkungan sekitar. Mereka yang tahu atau menyaksikan harus berani untuk melakukan intervensi. Bila di dalam keluarga berarti konteksnya adalah saudara atau tetangga yang tahu adanya kekerasan dalam keluarga tersebut. Intervensinya bisa beragam, misalnya menyelamatkan anaknya terlebih dahulu agar tidak mendapatkan kekerasan fisik, lalu kemudian mengumpulkan seluruh keluarga untuk dibicarakan lebih lanjut,” ujarnya.

Let's share

Picture of Nazri Tsani Sarassanti

Nazri Tsani Sarassanti