Seringkali ketika kita membahas tentang kekerasan pada anak, ruang lingkup utamanya selalu kekeraasan yang terlihat. Pembahasannya berkutat pada kekerasan fisik, seperti pukulan, dan sebagainya. Padahal, ruang lingkup kekerasan pada anak ternyata lebih luas dari itu.
Psikolog Anak, Remaja, dan Keluarga, Rika Kristina, M. Psi., Psikolog., menyebut kekerasan pada anak terbagi menjadi tiga. Di antaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan verbal, dan kekerasan emosional.
“Kalau bahas tentang kekerasan, yang pertama terlintas selalu kekerasan fisik ya, kayak mukul, cubit. Padahal sebenarnya ada juga kekerasan verbal atau kata-kata, seperti berbicara kasar, merendahkan, membandingkan. Ada juga kekerasan emosi, seperti tidak memberikan kasih sayang yang cukup atau bahkan mengabaikan kebutuhan anak,” ujarnya.
Baca Juga: Viral! Pedofil Toilet Umum Makin Meresahkan, Orang Tua Wajib Waspada!
Perilaku Seperti Apa yang Termasuk dalam Kekerasan pada Anak?
Seperti yang disebut oleh Rika, kekerasan pada anak meliputi kekerasan fisik, verbal dan emosional. Di antaranya sebagai berikut:
- Kekerasan Fisik: memukul, mencubit, mendorong, menendang, dan segala bentuk kekerasan fisik lainnya.
- Kekerasan Verbal: berbicara kasar, merendahkan anak, membandingkan anak, terucap menyesal melahirkan anak, menyebut anak dengan nama binatang, dan lain sebagainya.
- Kekerasan Emosional: mengabaikan kebutuhan anak, tidak memberikan kasih sayang yang cukup, menyepelekan perasaan anak, dan semacamnya.
Selain itu, Rika juga mengomentari pola tingkah orangtua yang kerap kali melakukan kekerasan emosional pada anak dengan dalih ‘bercanda’. Misalnya berupa ditakut-takuti, dibuat menangis, dipukul, dan sebagainya.
“Cara berpikir anak itu masih sangat konkret, terutama anak-anak usia dini. Ketika dia ditakut-takuti, dipukul, ya yang dia terima ya it is what it is. Lebih susah mengerti kalau apa yang dilakukan Ayah dan Bunda itu hanya bercanda atau hanya untuk konten,” papar Rika.
Jika dibiarkan lebih lanjut, maka perilaku tersebut bisa berdampak pada kehidupan si kecil di masa depan. Bahkan tak jarang, mereka yang masa kecilnya kerap mengalami kekerasan di rumah, akan mengulang kembali perilaku kekerasan tersebut ketika dewasa, baik sebagai korban maupun pelaku.
Lantas, Apa Dampak Psikologis dari Hal Ini?
Psikolog yang tergabung dalam Relasi Diri ini juga menyebut, ada beberapa dampak psikologis yang bisa terjadi. Di antaranya adalah sebagai berikut:
- Anak akan mengulang pola yang orangtua lakukan. Anak yang sedari kecil mendapat kekerasan, kelak ketika berkeluarga akan membesarkan anak dengan cara yang seperti itu pula. We repeat what we do not repair, kita akan mengulang apa yang tidak disembuhkan dari pengalaman kita.
- Anak jadi bingung dalam mendefinisikan cinta dan kasih sayang. Si kecil akan berpikir, ‘cinta itu berarti pelukan iya, pukulan juga iya’. Hal ini bisa membuatnya kelak terjebak dalam toxic & abusive relationship karena mengingat bahasa cinta yang orangtuanya lakukan dulu. Orangtuaku juga bilang I Love You tapi mukul kok, kalau pacarku mukul ya berarti gapapa…
- Anak mengalami depresi, masalah kecemasan, hingga takut berkomitmen. Pengalaman yang tidak menyenangkan dan luka batin yang terpendam menyebabkan si kecil jadi takut dalam berhubungan dengan manusia.
- Children see, Children do! Anak-anak seringkali mencontoh apa yang kita lakukan. Misalnya, ketika di sekolah kok dia mukul temannya atau berbicara kasar. Hal ini bisa jadi disebabkan dari perilaku orang di sekitarnya yang melakukan hal tersebut.
- Anak mengalami kemunduran atau regression dalam hal pertumbuhan. Emosi dan luka yang terpendam dapat menyebabkan stress pada anak. Hal ini membuatnya mengalami kemunduran dalam hal pertumbuhan.
- Sulit konsentrasi hingga bermasalah dalam daya ingat dan daya tangkap. Ketika anak berada dalam emosi yang intens atau membuatnya trauma, hal ini membuat mereka terkendala secara kognitif. Hal ini berpengaruh dalam segi akademis yang membuatnya menjadi kesulitan dalam menerima pelajaran.
Kalau Semuanya Dianggap Kekerasan, Bolehkah Memberi Anak Hukuman?
Dalam menjawab hal ini, Rika menjelaskan bahwa ada perbedaan antara disiplin dengan hukuman. “Menghukum itu konotasinya negatif. Saya lebih suka kata konsekuensi daripada menghukum,” jelasnya.
Misalnya, ketika si kecil terlalu lama mendapatkan screen time di hari ini, maka konsekuensinya tidak ada screen time untuk esok hari. “Ini yang disebut disiplin, bukan kekerasan atau hukuman ya,” terangnya.
Selain itu, Rika juga menjelaskan bahwa dalam pengasuhan itu yang terpenting adalah konsistensi. “Kita sebagai orangtua harus merespon dan mengekspresikan segala hal dengan konsisten. Begitu pula dalam hal ketegasan dan disiplin. Semua itu harus dilakukan dengan konsisten,” tegasnya.
Pengasuhan yang ideal, menurut Rika, dapat terbagi dalam dua pendekatan. Di antaranya adalah:
- Teori Baumer: Pengasuhan yang ideal adalah ketika kebebasan, kasih sayang dan kedisiplinan, seimbang. Dalam teori ini, anak boleh terbuka dan bebas menentukan pilihan, tapi tetap harus ada batas atau rules.
- Teori Attachment. Sejak kecil, anak harus memiliki secure attachment. Caranya gimana? Sedari kecil, orangtua harus sensitiif dan responsif dengan apa yang si kecil butuhkan. Jadi, ketika anak menangis, Ayah dan Bunda bisa menganalisa dengan jeli apa kebutuhannya.
Dalam mengasuh si kecil, pastikan Ayah dan Bunda menerapkan prinsip ‘Children See, Children Do’. Jadi, semuanya harus dimulai dari orangtua terlebih dahulu untuk bisa menemani tumbuh kembang si kecil dengan positif dan bahagia.