check it now

Ini Akibat Terlalu Sering Membandingkan Anak

Maksud hati membandingkan anak agar semakin terpacu meraih prestasi. Namun justru dampak negatif yang didapatkan.

Daftar Isi Artikel

“Kak, itu Ria anaknya tante Sri kemarin juara 1 lomba fashion show lho. Masa kamu gak bisa juara seperti dia sih?” atau “Dek, jangan mau kalah dong sama kakak. Ayo belajar lebih rajin supaya bisa jadi juara seperti kakak.”

Pernahkah kalimat seperti di atas terlontar dari bibir Ayah dan Bunda?

Disadari atau tidak, kalimat senada mungkin kerap kita ucapkan. Terlebih ketika sebagai orang tua kita melihat si kecil sepertinya punya kemampuan yang sama dengan anak lainnya, tapi “kurang berusaha”.

Akibatnya ia kalah unggul dibandingkan dengan kakak, adik atau bahkan anak tetangga.  Entah itu dari segi nilai sekolah, kedisiplinan atau prestasi lainnya.

Nah untuk menyadarkan akan “kesalahannya” tersebut, akhirnya Ayah dan Bunda mulai memberi kritik dengan cara membandingkan mereka dengan pencapaian anak lainn yang lebih unggul.

Meski maksud hati mungkin baik, yaitu agar si kecil termotivasi. Namun kenyataannya memberi kritik dengan cara demikian justru bisa berdampak negatif  pada kesehatan mental anak lho.

Dampak negatif membandingkan anak

Monica Sulistiawati, M.Psi dari Personal Growth mengakui bahwa masih banyak orang tua yang gemar membanding-bandingkan anaknya dengan anak lain.

“Jujur, kebiasaan tersebut membuat saya gemas. Mengapa? Karena  membandingkan antara anak yang satu dengan yang lain bukanlah cara yang bijak, meskipun alasannya untuk memacu semangat anak,” tegasnya.

Lebih jauh Monica menilai, orangtua yang melakukan hal demikian mungkin mereka belum paham betul akan dampak negatifnya.

“Kebanyakan orang tua berpikir dengan cara dibandingkan, maka anak akan lebih terpacu. Sayangnya itu justru salah besar. Di awal-awal mungkin ada anak yang kelihatannya terpacu. Tapi percayalah, gaya kritik dengan cara membanding-bandingkan justru memiliki lebih banyak dampak negatif,” ujar Monica meyakinkan.

Adapun dampak negatif yang dimaksud Monica meliputi rusaknya kepercayaan diri anak sehingga membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang minder dan kerap ragu dalam memutuskan sesuatu.

Dengan kata lain, anak yang biasa dibandingkan biasanya tumbuh dengan selalu dibayangi rasa takut berbuat salah karena tidak memiliki kepercayaan diri yang kuat.

Masih menurut Monica, tindakan membanding-bandingkan juga kemungkinan besar akan membuat anak memiliki persepsi bahwa orang tua tidak mencintai dan menghargainya dengan tulus.

Dalam benaknya, orang tua dianggap hanya menyukai anak-anak yang sesuai dengan keinginannya.

Apa dampaknya? Jelas akan muncul rasa iri, sakit hati, bahkan dendam atas perlakuan yang diterimanya.

“Karena merasa tidak dicintai, anak pun cenderung akan memusuhi, menjauhi dan membenci orang tuanya. Bukan tak mungkin bila anak menyimpan rasa sakit hati itu sehingga akan menyakiti atau membalas dendam pada orang tuanya di kemudian hari saat dirinya merasa sudah merasa cukup kuat atau mampu membalas,” terangnya.

Tak hanya itu, berdasarkan hasil sejumlah riset, gaya “memberi motivasi” anak dengan cara membandingkan ternyata juga bisa membebani mental anak.

Akibatnya anak cenderung tumbuh dengan gangguan kesehatan mental seperti depresi, conduct disorder bahkan anti sosial.

Bangun pola pikir positif

Memang tak bisa dipungkiri, melihat kakak, adik atau teman sebaya anak yang lebih unggul pasti terselip harapan di hati orang tua agar anak yang “kurang berprestrasi” ini pun bisa sama membanggakannya.

Menanggapi harapan tersebut, Monica ingin mengajak orangtua untuk selalu berpikir positif.

“Percayalah, setiap anak dilahirkan dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Begitu juga dengan si kecil yang dianggap “kurang berprestasi”. Ia pasti memiliki kelebihan, yang mungkin saja belum tergali atau belum berkembang dengan maksimal. Justru jika kelebihan itu belum terlihat, orang tua harus  lebih banyak mengeksplorasi dan menstimulasi agar keunggulannya bisa ditemukan dengan cepat,” lanjutnya.

Karenanya Monica kembali menegaskan agar orang tua sebisa mungkin menghindari membandingkan keberhasilan anak yang satu dengan yang lain.

“Akan lebih baik bila kita menumbuhkan rasa bangga pada diri anak dan jangan merasa malu pada kekurangan yang dimilikinya, sembari terus berusaha mencari dan mengembangkan kelebihan anak sesuai dengan potensi dirinya,” lanjutya.

Beri kritik yang membangun

Lalu yang jadi pertanyaan, bukankah membandingkan anak itu sebenarnya merupakan salah satu bentuk kritik untuk menjadikannya lebih baik?

Memangnya tak boleh orang tua mengkritik anaknya?

Jawabannya adalah tentu boleh dan bahkan diperlukan. Hanya saja kritik yang disampaikan sifatnya harus membangun kepercayaan diri si anak, bukan malah menjatuhkannya.

“Kritiklah anak dengan cara menjelaskan secara konkrit perilaku apa yang ingin dikoreksi,” tegas Monica.

Sebagai contoh, bila si kecil mendapat nilai buruk di sekolah, maka daripada mengatakan “Lihat tuh si Jody, pinter banget ya. Kamu juga sebenarnya pinter, tapi malas sih”.

Lebih baik ganti dengan kalimat “Soalnya ada yang susah ya nak? Mari Bunda bantu belajarnya. Kalau kamu belajar, pasti bisa dapat nilai bagus”.

“Yang perlu dipahami, kritik tak selalu harus dengan tekanan. Pada anak-anak, kita bisa menyampaikan kritik dalam bentuk harapan yang dijelaskan secara konkrit. Dan ketika si kecil  sudah berhasil melakukan apa yang kita harapkan, maka jangan pelit untuk memberikan pujian,” tutup Monica.

Let's share

Picture of Nazri Tsani Sarassanti

Nazri Tsani Sarassanti