check it now

Bahaya Bullying dari Sisi Korban dan Pelaku

Efek bullying memang menakutkan, bahkan kadang tak terduga. Itu sebabnya, perlu tindakan pencegahan sejak dini, baik dari sisi korban maupun pelaku.

Daftar Isi Artikel

Pernah dengar kasus Gabriel Taye? Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dari Amerika Serikat yang hidupnya berakhir tragis. Tepatnya mati gantung diri di usia belia akibat di-bully oleh beberapa teman sekolahnya.

Atau kasus T.J Lane? Seorang remaja pria berusia 17 tahun yang mentalnya terganggu dan melakukan penembakan di kantin sekolah, karena kerap menjadi objek bully-an teman-temannya sedari kecil.

Mengerikan memang. Tapi itulah kenyataannya, di mana bullying ternyata tak hanya sekedar membuat korbannya merasa sakit hati, ketakutan hingga enggan masuk sekolah atau bertemu dengan teman-temannya.

Lebih dari itu, apabila tak segera diatasi, bukan tak mungkin bullying menjadikan mental korbannya terganggu sehingga bisa melakukan berbagai tindakan nekat yang tak masuk akal.

Bullying Dari Sisi Pelaku

Secara umum, bullying atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah perudungan bisa diartikan sebagai tindakan agresif dan mengintimidasi dari seseorang atau sekelompok orang yang secara sengaja dilakukan untuk menyakiti orang lain.

Adapun bentuknya bisa bersifat verbal seperti bentakan, ucapan kasar, hingga hinaan. Selain itu ada juga yang bersifat fisik seperti tindakan kasar mendorong sampai memukul.

Belakangan bullying pun bisa dilakukan dalam dunia maya (cyber bullying) dengan cara menyindir atau membuat berbagai tulisan yang sifatnya menghina.

Menyedihkannya, fakta menunjukkan bahwa tindakan bullying ternyata tak hanya dilakukan orang dewasa. Sebagian besar anak-anak juga gemar melakukannya.

Pertanyaannya: apa yang mendorong anak-anak tersebut melakukan tindakan bullying? Apakah mungkin karena faktor genetik?

Menjawab hal tersebut, Mutia Aprilia Permata K., M.Psi., psikolog anak dari Klinik Mentari Anakku mengatakan bahwa sifat gemar mem-bully seorang anak pada dasarnya bukan karena faktor genetik atau dengan kata lain tidak timbul dengan sendirinya, melainkan selalu ada pemicunya.

Dalam hal ini, didikan atau pola asuh yang diberikan orang-orang terdekatnya, mulai dari orangtua sampai saudara-saudaranya dikatakannya memegang peranan yang sangat penting.

“Umumnya anak yang gemar melakukan bullying memiliki kondisi psikologis yang bermasalah. Mereka kebanyakan adalah anak-anak yang memiliki kepercayaan diri sangat rendah, sehingga mencoba menutupinya dengan melakukan tindakan bullying. Penyebabnya pun bermacam-macam, bisa karena pola asuh yang salah, kurangnya perhatian dari orangtua, atau bahkan karena sering mengalami kekerasan fisik maupun verbal di rumah,” jelas Mutia. 

Lebih lanjut Mutia mengatakan bahwa tontonan ataupun games yang memperlihatkan kekerasan juga bisa menjadi contoh dan pemicu terjadinya sikap ingin mem-bully.

Keinginan untuk dapat bergabung dalam kelompok yang populer juga dapat membuat seorang anak melakukan bullying terhadap temannya yang lebih lemah.

Tujuannya tentu agar ia bisa mendapatkan pengakuan dari teman-temannya yang sudah terlebih dulu tergabung dalam kelompok yang populer.

Lalu, apa yang harus dilakukan agar anak tidak tumbuh menjadi pribadi yang gemar mem-bully?

Dalam hal ini Mutia mengatakan, pertama-tama orangtua harus memiliki niat untuk memutus mata rantai bullying dengan cara menjauhkan anak dari kekerasan, baik fisik maupun verbal.

“Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, salah satu faktor yang bisa membuat anak melakukan bullying adalah karena ia sendiri sering mengalami tindak kekerasan di rumahnya. Entah suka dipukul atau dimaki-maki. Nah karena terbiasa mengalami kekerasan, akhirnya ia akan berpikir bahwa tindakan kasar seperti itu adalah suatu hal yang biasa dan bisa dilakukannya di luar rumah pada orang yang lebih lemah,” tambah psikolog lulusan Universitas Indonesia ini.     

Itu sebabnya, Mutia berpesan agar pola asuh yang mengandalkan kekerasan sebaiknya dihindari. Akan lebih baik jika orangtua menerapkan teknik reward dan punishment yang tidak menggunakan kekerasan, supaya kedepannya anak bisa belajar bertanggungjawab atas segala perbuatan yang dilakukannya dengan benar.

Di samping itu, mendampingi anak dalam memilih tontonan dan games yang sesuai dengan usianya juga sangat dianjurkan.

“Intinya, ciptakanlah kedekatan yang positif dengan anak. Dengarkan keinginan mereka dan jauhkan sikap otoriter. Selalu beri contoh nyata kepada anak-anak, bagaimana bersikap penuh empati dan toleransi. Percayalah, kedekatan dan perhatian yang diberikan orangtua pada anak akan membuat mereka merasa lebih dihargai dan dicintai, sehingga anak akan tumbuh lebih percaya diri dan terhindar dari sikap ingin mem-bully,” paparnya lebih lanjut.

Memperkecil Potensi Anak Menjadi Korban Bullying

freepik.com

Pada kesempatan yang sama Mutia juga menjelaskan, mengapa anak bisa menjadi korban bullying. Dalam pengamatannya, anak yang sering menjadi korban bully umumnya yang memiliki fisik agak berbeda dari teman-temannya.

Misalnya ia telihat lebih gemuk, berkulit hitam, berkacamata, dan lain sebagainya. Selain itu, anak yang memiliki karakter lemah, relatif pendiam, dan tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau berbicara juga kerap menjadi korban bullying.

Di sini kembali peran orangtua untuk memperkecil potensi anak menjadi korban bullying sangatlah diperlukan.

Karenanya, berusahalah untuk menjadi sahabat terbaik bagi anak-anak. Kenali kebutuhan-kebutuhannya dan selalu berikan perhatian serta kasih sayang penuh pada mereka. Dengan demikian apabila suatu saat anak menjadi korban bullying, ia tidak akan segan bercerita tentang apa yang dialami dan dirasakannya, sehingga orangtua bisa berkonsultasi dengan pihak sekolah untuk segera membantu mengatasinya. 

“Patut diingat, orangtua juga harus selalu berusaha menguatkan konsep diri positif pada anaknya, sehingga mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Hindari panggilan sayang pada anak yang konotasinya negatif, seperti si pesek, si endut, dan lain-lain. Sebab panggilan seperti itu meski maksudnya untuk bergurau, bisa jadi malah membuat anaknya percaya jika dirinya memang berbeda sehingga wajar jika di-bully,” tambahnya.

Terakhir Mutia juga menyarankan agar orangtua selalu mengajari anaknya berbicara dan mengutarakan apa saja yang tidak mereka sukai (speak up) dari perlakuan orang lain. Sesekali mencoba melakukan role playing di rumah untuk melatih anak agar berani speak up kepada perlakuan orang-orang yang tidak disukainya juga bisa dilakukan.

Let's share

Picture of Nazri Tsani Sarassanti

Nazri Tsani Sarassanti

Daftar Isi Artikel

Updates