check it now

Helicopter Parenting dan Dampaknya bagi Buah Hati

Maksud hati melindungi dan menyayangi anak. Tapi bila salah diterapkan, bisa jadi pola asuh yang dianut berkembang menjadi helicopter parenting.

Daftar Isi Artikel

Pernah dengar helicopter parenting?

Helicopter parenting adalah pola pengasuhan di mana orangtua terlalu fokus pada anaknya, sehingga yang terjadi malah over controlling, over protecting dan over perfect.

Atau dalam arti saat membesarkan anak, atas nama “kasih sayang” orang tua jadi bertindak terlalu melindungi dan mengontrol buah hatinya.

Dalam istilah, helicopter parenting itu sendiri merujuk pada sifat helikopter yang gemar melayang-layang di udara seperti sedang mengawasi dan membayangi orang-orang di bawahnya.

Ciri-ciri pola asuh helicopter parenting      

Memang, melindungi anak agar memperoleh yang terbaik dalam hidup adalah hal yang lazim, bahkan sudah menjadi kewajiban bagi orang tua.

Namun bila itu dilakukan terlalu berlebihan, maka yang terjadi justru bencana.

Bagaimana tidak, anak yang ketika kecil terlihat pintar, menurut dan dekat dengan orang tua, saat besar kelak malah tidak bisa mengurus dirinya sendiri karena sudah terbiasa bergantung pada orang tua.   

R. Rahajeng Ikawahyu Indrawati, M.Si., psikolog dari Kasandra & Associates Psychological Practice mengamini hal tersebut.

Menurutnya, sudah menjadi naluri sekaligus kewajiban dari setiap orang tua untuk menyayangi, melindungi dan memberikan yang terbaik untuk buah hati.

“Meski demikian perlu saya tegaskan, semua harus dilakukan sesuai dengan porsinya alias jangan berlebihan. Karena sebagai orang tua, kita juga dituntut untuk mendidik anak agar siap dalam menghadapi masa depannya kelak. Kan, sudah pasti kita tidak bisa selamanya ada di samping anak untuk melindungi dan mengurusnya. Itu sebabnya, jangan sampai orang tua terjebak dalam pola asuh helicopter parenting,” ujarnya.   

Adapun pola asuh helicopter parenting bisa dikenali melalui sikap orang tua yang terlibat terlalu jauh dalam hidup anaknya. Bahkan sampai-sampai segala sesuatu yang berhubungan dengan si kecil akan diatur.

Mulai dari memilihkan mainan yang dianggap paling cocok, memilih teman sekaligus ekstra kurikuler yang dianggap paling baik, hingga membuatkan PR dengan alasan agar si kecil bisa mendapatkan istirahat yang cukup setelah lelah belajar di sekolah.     

“Nah, bila sudah demikian, orang tua harus waspada, karena itu artinya mereka sudah terjebak dalam pola asuh helicopter parenting,” tambahnya.

Perlu digarisbawahi, bagi sebagian anak berkebutuhan khusus, seperti autis, ADHD atau MR, pola asuh helicopter parenting masih bisa diterapkan.

Namun, bagi anak yang tergolong normal atau tidak berkebutuhan khusus, pola asuh seperti ini harus dihindari.

Dampak helicopter parenting

Lebih jauh Rahajeng menjelaskan bahwa anak yang ketika kecil diasuh dengan pola asuh helicopter parenting umumnya akan tumbuh menjadi anak yang tidak mandiri, kurang percaya dengan kemampuannya sendiri, gampang dipengaruhi orang lain, cenderung mudah putus asa, dan sulit membuat keputusan.

“Tidak hanya itu, anak juga berisiko memiliki pola pikir yang menyangkut analisa logika yang lemah. Hal tersebut terjadi akibat mereka terlalu sering dibantu. Di samping itu, karena pergaulannya terbiasa diatur, maka kemampuan bersosialisasinya pun rendah. Bahkan kelak ketika dewasa, anak akan mudah terserang depresi, sebab segala sesuatunya mungkin berjalan tidak sesempurna ketika dirinya kecil,” terangnya. 

Karena itu, Rahajeng menyarankan agar dalam mengasuh anak, orang tua menjauhi pola asuh helicopter parenting.

“Saya yakin, setiap orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Itu sebabnya, jangan terjebak dalam pola asuh helicopter parenting. Didik anak agar mampu mandiri dan memecahkan masalahnya sendiri. Sesekali, biarkan anak merasakan akibat dari pilihannya sendiri, sehingga mereka bisa belajar dari hal tersebut,” sarannya.

Masih menurut Rahajeng, dalam mendidik anak, orang tua lebih baik memposisikan diri sebagai pengawas sekaligus tempat berbagi pendapat.

Artinya apabila orang tua mengetahui bahwa pilihan anaknya kurang baik atau kurang cocok, jangan buru-buru melarangnya.

Akan lebih bijak jika orang tua memberikan penjelasan terlebih dahulu, baik buruknya pilihan yang akan diambilnya. Setelah itu, biarkan anak berpikir sendiri, tentunya dengan tetap diawasi.    

“Dalam mengawasi gerak gerik anak juga jangan berlebihan ya. Jangan terlalu cepat merespon apa yang menjadi keinginan anak. Ingat, setiap anak pasti memiliki caranya sendiri untuk tumbuh. Orang tua memang bertindak sebagai pelindung, namun bukan berarti boleh memaksakan kehendak. Semuanya harus dibatasi, kecuali untuk cinta dan perhatian bisa orang tua berikan secara berlimpah tanpa harus terjebak dalam pola asuh helicopter parenting,” tutup Rahajeng.

Let's share

Picture of Nazri Tsani Sarassanti

Nazri Tsani Sarassanti