Bila dulu akses untuk mendapatkan informasi sangat terbatas, misalnya hanya dari program televisi, maka sekarang tidak lagi.
Seiring berkembangnya teknologi, kini generasi milenial sangat mudah mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan. Hingga akhirnya hal tersebut turut mengubah kebiasaan dan gaya hidup.
Generasi Milenial
Kemudahan mengakses berbagai informasi merupakan satu dari sekian banyak contoh perubahan zaman sekaligus sebagai buah dari masifnya perkembangan teknologi.
Karenanya tak ayal bila generasi milenial dikenal sebagai digital savvy alias generasi yang hidup dalam dunia digital (melek teknologi).
Istilah generasi milenial itu sendiri mengacu pada sekelompok orang ang dilahirkan antara tahun 1980-2000.
Artinya saat ini, di tahun 2021, mereka sudah berada di usia produktif dan cukup umur untuk berumah tangga dan memiliki keturunan.
Interaksi antara orangtua milenial dan buah hatinya inilah yang berbeda dibanding generasi terdahulu yang belum terpapar teknologi digital.
Lekat dengan internet
Salah satu hal yang paling menonjol dari generasi milenial adalah cara mereka mencari informasi.
Menurut psikolog anak dan keluarga, Yulita Patricia Semet, M.Psi, hal ini berbeda dengan generasi terdahulu yang lebih banyak mengandalkan informasi seputar merawat anak atau keluarga berdasarkan penuturan/cerita orangtua mereka.
“Dulu, sebuah mitos bisa menjadi kebenaran karena diajarkan turun-temurun tanpa tahu harus mencari kebenarannya. Namun sekarang, semua informasi sudah ada di dunia digital. Alhasil orangtua milenial bisa menjadikan internet dan media sosial sebagai ladang mencari informasi, sehingga mereka tidak terjebak pada mitos,” tuturnya.
Hal itu pun turut dibuktikan oleh survei dari Centre For Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2017. Hasil survey menyebutkan bahwa ada 54,3% generasi milenial yang berburu informasi melalui internet.
Lebih lanjut Yulita mengatakan, satu sisi, banyaknya informasi parenting di internet dapat memudahkan kita untuk mengaksesnya. Tetapi di sisi lain, bila informasi itu langsung diterapkan tanpa pertimbangan matang justru bisa berujung pada kekeliruan.
Oleh sebab itu, Yulita pun mengingatkan orangtua harus pandai memilah informasi mana yang tepat untuk anak mereka dan mana yang tidak.
“Misalnya begini, kita baca tentang metode time out yang menurut para ahli efektif untuk mendisiplinkan anak. Metode ini singkatnya meminta si kecil untuk merenungi kesalahannya. Lalu yang jadi contoh itu adalah anak usia 7 tahun, sementara si kecil di rumah baru berusia 1 tahun, apakah itu efektif? Tentu tidak. Sebab pemikiran kognitifnya belum sampai pada tahap itu,” papar Yulita.
Karena itu, Yulita menyarankan orangtua untuk membaca dan menggali informasi hingga tuntas. Alias jangan setengah-setengah.
“Satu hal yang tak kalah penting saat membaca berita atau informasi sumbernya harus jelas dan kredibel. Maklum, dunia digital kerap kali disisipi oleh beragam hoax yang bukan tak mungkin membuat orangtua jadi salah kaprah,” tegasnya.
Aktif ber-media sosial
Survei dari CSIS juga menyebutkan jika generasi milenial mendominasi penggunaan media sosial. Laporan tersebut mengidentifikasi media sosial seperti facebook 81,7% dikuasi oleh generasi milenial dan 54,7% pengguna instagram juga generasi milenial.
Bicara soal media sosial, kini akun seputar parenting maupun selebgram dengan konten seputar anak-anak pun jamak ditemui. Mulai dari menawarkan tips, artikel, infografik maupun pengalaman pribadi dalam merawat buah hati yang didukung oleh beragam kalimat yang memikat dan foto-foto ciamik.
Karena itulah, orangtua disarankan untuk membaca dari sumber yang jelas dan kredibel. Terlebih untuk kegiatan sharing atau berbagi yang biasa dilakukan oleh selebgram atau antar ibu di media sosial, Yulita berpendapat untuk tidak langsung menerapkan bahan diskusi tersebut.
“Sama seperti cerita metode time out tadi yang tidak cocok untuk semua usia anak. Pada dasarnya metode parenting bisa berbeda-beda, tergantung banyak faktor. Mulai usia, karakter, serta situasi dan kondisinya. Jadi jangan ditelan mentah-mentah. Cobalah membandingkan dengan sumber referensi lain yang kredibel,” sambungnya.
Satu hal lain terkait media sosial adalah kegemaran orangtua meng-upload foto buah hati. Sebagian orangtua merasa jika foto buah hatinya sebaiknya diabadikan di media sosial sehingga teman-teman atau kerabat dapat melihat tumbuh kembangnya.
Lebih jauh Yulita juga ingin mengingatkan bahwa ranah media sosial tak terlepas dari tindak kriminalitas. Karena itu sebaiknya jangan sembarangan mengunggah foto anak di dalamnya. Setidaknya, hindari pencantuman informasi yang terlalu detail, seperti sekolah, tempat les atau alamat rumah.
“Yang tak kalah penting adalah jangan unggah foto anak saat telanjang. Mungkin sepintas terlihat sepele, tapi fakta membuktikan jika tak sedikit foto-foto di media sosial tersebut digunakan oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Misalnya untuk kasus pedofil yang mengincar anak-anak sebagai target seksualnya,” tegasnya.
Menyukai aktivitas online
Hadirnya internet juga membawa sejumlah perubahan pada aktivitas jual beli. Maklum, dengan adanya internet, belanja menjadi lebih mudah karena bisa dilakukan dimana pun dan kapan pun.
Hal itu diperkuat dengan survei terakhir dari lembaga riset Snapchart. Riset itu menyatakan jika 50% orang yang berbelanja online adalah kaum milenial yang berusia 25-34 tahun dengan 65% atau mayoritas di antaranya adalah wanita.
Hasil survei tersebut tentu masuk akal. Sebab tersajinya gambar dan detail produk yang lengkap, cara memesan yang mudah dan pengiriman yang relatif cepat, sudah tentu dapat menjadi magnet generasi milenial untuk belanja online.
Tak hanya itu, perlengkapan bayi dan anak-anak juga sangat mudah ditemukan pada toko-toko online sehingga orangtua milenial tertarik menghabiskan uangnya dengan cara belanja online dibanding jauh-jauh datang ke toko.
Meski demikian, ada beberapa hal yang patut diwaspadai saat berbelanja online. Di antaranya adalah jangan sampai kalap berbelanja karena kemudahan yang ditawarkan. Padahal, belum tentu barang tersebut dibutuhkan si kecil.
Selain itu, belanja online juga rawan penipuan. Karenanya, penting untuk menyelidiki terlebih dahulu apakah toko online yang kita kunjungi itu kredibel atau tidak.
Aktif mencari dan mengikuti tren terbaru
Pada dasarnya setiap orangtua ingin melihat buah hatinya tumbuh menjadi orang sukses. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu tidak bisa dengan cara instan, perlu didukung oleh sejumlah faktor, terutama pendidikan.
Yulita menilai orangtua masa kini semakin aware dengan beragam metode belajar dan pemilihan sekolah. Orangtua selalu penasaran tentang sistem pendidikan terbaik untuk mendukung kesuksesan sang buah hatinya.
“Dulu mungkin kebanyakan orangtua tahu jika sekolah terbaik hanya berlabel negeri. Tapi saya rasa sekarang banyak juga orangtua yang mulai betul-betul memperhatikan sistem pendidikan di dalamnya. Orangtua makin giat mencari tahu misalnya apa itu sekolah montessori, sekolah alam, sekolah internasional dan sebagainya,” tuturnya.
Masih menurut Yulita, hal itu bisa dipengaruhi oleh berbagai hal. Misalnya saran dari keluarga atau teman, ulasan tentang sekolah, fasilitas dan metode belajar yang mereka baca dari berbagai sumber, termasuk sumber digital yang bertebaran di media sosial.
“Dengan begitu, orangtua zaman sekarang lebih bisa menemukan sekolah yang dianggap paling baik dan cocok untuk si kecil,” tambahnya.
Mengajarkan calistung sejak dini
Menjamurnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau Taman Kanak-Kanak (TK) juga tak lepas dari antusiasme orangtua dalam menyekolahkan buah hati.
“Namun sekarang motif menyekolahkan buah hati di PAUD atau TK agak sedikit berbeda,” ungkap Yulita.
Sekarang tidak sedikit muncul fenomena orangtua menyekolahkan anak di PAUD atau TK dengan harapan sebelum masuk Sekolah Dasar sudah bisa menguasai kemampuan seperti membaca, menulis dan berhitung (Calistung).
Maklum, di berbagai media sosial banyak sekali tersebar berita mengenai kehebatan anak di usia dini yang sudah bisa membaca, menulism dan berhitung.
“Karena itulah biasanya muncul semangat orangtua untuk bersaing dan menjadikan buah hatinya sebagai anak yang unggul sejak usia dini. Padahal, imbauan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri menyebutkan jika Calistung bukan menjadi syarat anak untuk masuk ke jenjang Sekolah Dasar,” jelas Yulita.
Senada dengan hal tersebut, sejumlah teori psikologi pun menyatakan jika sebenarnya aktivitas membaca, menulis dan berhitung lebih ideal jika diajarkan di usia 7 tahun.
Mengapa? Sebab di usia itulah kemampuan motorik dan sensori sebagai modal untuk menulis, membaca dan berhitung telah matang sehingga belajar pun jadi lebih optimal.
“Jangan sampai karena dipaksakan justru bisa membuat kesehatan mental anak menjadi bermasalah karena merasa tertekan. Sehingga bisa saja mereka menjadi stres atau depresi,” tegasnya.
Lebih lanjut Yulita menilai, anak-anak di PAUD atau TK tak selalu harus ditekankan untuk belajar Calistung. Sebab, ada beberapa hal lain yang tak kalah penting diajarkan dan lebih sesuai dengan usianya.
Misalnya mengajarkan si kecil tentang aturan dasar di rumah dan sekolah. Selain itu di usia ini pun anak bisa belajar tentang kemandirian, seperti kemampuan soal toilet training, atau kemampuan dasar lain seperti mengenakan sepatu, pakaian dan makan serta minum sendiri dan merapihkan tempat tidur atau perlengkapan sekolah sendiri.
“Boleh saja mengenalkan calistung pada anak, tapi dengan cara yang menyenangkan, misalnya dengan membaca buku cerita bersama-sama, menggambar, mengenalkan huruf serta angka dan surat menyurat. Bukan dengan dijadikan target jika anak harus lancar baca, tulis dan hitung saat TK, akibat melihat kehebatan anak lain dari media sosial,” tutupnya.