“Anak laki-laki kok cengeng, sih?” “Anak laki-laki harus berani, dong! Masa gitu aja takut?!” Bunda pasti seringkali mendengar atau bahkan mengucapkan kalimat tersebut ke anak laki-laki, ‘kan? Hati-hati lho, hal ini ternyata bisa merujuk pada toxic masculinity.
Dalam kehidupan bermasyarakat, ada bentuk persepsi, harapan atau bahkan tuntutan mengenai bagaimana masing-masing gender berperilaku yang biasa kita kenal sebagai gender stereotype.
Stereotip ini mengacu pada gambaran tentang anak laki-laki harus seperti ini, sementara anak perempuan harus seperti itu.
Sedari kecil, anak laki-laki selalu dianggap lebih superior dari perempuan. Mereka dibentuk untuk menjadi sosok yang tak boleh terlihat lemah, dominan, kuat, tidak boleh menangis dan harus selalu bisa diandalkan. Hal-hal seperti ini lah yang kemudian disebut dengan toxic masculinity.
Menurut Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Monica Sulistiawati, S.Psi, M.Psi., Psikolog., toxic masculinity merupakan bentuk dari gender stereotype yang keliru, kepercayaan yang salah, yang cenderung menekan dan memberikan dampak buruk bagi anak laki-laki.
“Kita bisa mengklasifikasikan suatu tuntutan sebagai sesuatu yang toxic apabila justru perilaku yang kita harapkan pada anak laki-laki ini malah merendahkan dan membatasi mereka secara berlebihan,” ujarnya.
Lalu, Apa Saja Perilaku Orangtua yang Termasuk Toxic Masculinity, ya?
Psikolog yang menjadi bagian dari Ohana Space ini memberikan contoh toxic masculinity dalam beberapa bentuk, yaitu:
1. Membatasi Anak dalam Bermain
Kebanyakan orangtua seringkali melarang anak laki-lakinya untuk menyentuh mainan yang dianggap terlalu feminin atau lekat dengan perempuan. Seperti bermain peran, masak-masakan dan bermain boneka.
Mereka beranggapan, permainan anak laki-laki harus terlihat jantan. Misalnya, bermain bola, bermain sepeda, atau semacamnya.
Padahal, menurut Monica, anggapan seperti itulah yang kemudian disebut toxic. “Berdasarkan teori perkembangan anak, saya justru menekankan bahwa anak-anak itu perlu bereksplorasi dengan berbagai jenis mainan,” pungkasnya.
Sebagai seorang anak yang masih dalam tahap pertumbuhan dan sedang belajar mengenali segala hal, membatasi mainan anak sama saja dengan membatasi tumbuh-kembangnya.
“Permainan boneka ini padahal bisa digunakan anak laki-laki untuk bermain peran misalnya, dan hal ini berguna untuk perkembangan kognitif, sosial, dan emosional yang perlu dimiliki anak, bahkan di bawah usia 2 tahun,” ujar Monica.
Bermain masak-masakan pun bukan sesuatu hal yang salah untuk dilakukan anak laki-laki. “Bukankah anak laki-laki juga perlu bermain peran yang bisa dimulai dengan permainan masak-masakan? Bukankah anak laki-laki juga perlu memiliki basic life skill yang salah satunya adalah dia juga bisa menyediakan kebutuhan pribadinya sendiri?” tambahnya.
2. Merendahkan Sisi Emosional Anak
Setiap anak itu terlahir spesial dengan karakternya yang unik dan tentunya berbeda-beda, tak terkecuali anak laki-laki.
Orangtua harus paham, tidak semua anak laki-laki memiliki karakter yang dominan. Sifat dominan ini pun tidak wajib dimiliki seluruh anak laki-laki.
Ada pula anak laki-laki yang memang lebih sensitif perasaannya, lebih peka, dan lebih lembut hatinya. Tentunya, sifat tersebut tak salah dimiliki anak laki-laki.
“Kita tak bisa memilih anak laki-laki akan seperti Ayahnya, bisa jadi anak laki-laki memiliki sifat seperti Bundanya yang lebih sensitif, peka dan berempati tinggi,” kata Monica.
Maka, orangtua tidak boleh serta merta merendahkan sisi emosional anak laki-laki dengan menyebut mereka cengeng, penakut, dan semacamnya yang berkonotasi negatif.
3. Menerapkan Pola Asuh yang Patriarkis
Pola asuh yang patriarkis artinya menempatkan posisi anak laki-laki berada di posisi yang dominan. Orangtua menuntut anak laki-lakinya untuk mengemban berbagai tanggung jawab, kuat dan mampu mengatasi segala hal.
Anak laki-laki tidak diberi kesempatan untuk mengenali karakter seperti apa yang dia miliki, melainkan terbentuk menjadi sosok yang bukan dirinya sendiri.
“Jika dari awal sudah didik untuk tidak boleh menangis, harus kuat, dominan, mungkin si anak akan menjadi seperti itu, tetapi apakah itu perilaku yang dikontrol atau itu dirinya sendiri?” papar Monica.
Anak laki-laki yang terus-menerus memendam emosi aslinya, akan menjadi seperti bom waktu yang suatu saat bisa meledak tiba-tiba. Ledakan ini tentunya berhubungan dengan kondisi mentalnya yang bisa jadi terluka banyak.
Toxic Masculinity Memberikan Dampak Mental yang Seperti Apa ke Anak Laki-Laki?
Hidup dengan penuh tuntutan sosial tentunya lambat-laun akan memberi efek yang signifikan pada mental anak. Terlebih, tuntutan ini cenderung salah dan jelas-jelas memberikan dampak buruk untuk psikologis anak.
- Anak memiliki kepercayaan diri yang rendah.
- Berkepribadian pemalu, suka menyendiri, dan kesepian.
- Memiliki gangguan kecemasan hingga depresi.
- Anak menjadi lebih agresif dan tidak bisa dikontrol.
- Anak mudah marah dan sulit mengendalikan emosi.
- Meningkatkan resiko anak menggunakan obat-obatan terlarang dan mengonsumsi alkohol secara berlebih di kemudian hari.
“Dampak mental toxic masculinity ini mungkin awalnya kesedihan yang anak rasakan, namun lambat-laun bisa jadi bukan kesedihan lagi yang mereka ekspresikan tetapi kemarahan,” jelas Monica.
Hal ini bisa diibaratkan layaknya fenomena gunung es. Orangtua mungkin melihat anak laki-lakinya tumbuh dengan kuat dan dominan seperti yang mereka harapkan, padahal dibalik itu semua, ada banyak beban mental yang ia rasakan.
Baca Juga: Memberi Upah Anak Agar Mau Bantu Beres-Beres Rumah Bolehkah? Bahas, Yuk!
Lantas, Tipe Parenting Seperti Apa yang Tidak Tergolong Toxic Masculinity?
Pola asuh yang ideal dan tidak memberikan dampak buruk serta menjerumuskan anak laki-laki pada toxic masculinity ialah sebagai berikut:
1. Menerapkan Positive Parenting
Positive Parenting ialah pola pengasuhan yang dilakukan dengan tujuan untuk mendukung perkembangan anak, baik secara fisik maupun psikologis.
“Contohnya seperti permainan boneka tadi, main boneka itu sebenarnya apa sih yang dibatasi? Untuk apa pembatasannya? Bukankah anak laki-laki juga perlu mengenal beragam tekstur yang ada di boneka?” ujar Monica.
Dalam positive parenting, ada pula yang disebut dengan pola pengasuhan yang konstruktif. Artinya, orangtua berani untuk berfokus pada hal-hal yang positif pada anak.
Misalnya, ketika orangtua melihat anak laki-lakinya memiliki sisi sensitif dan kurang dominan, maka jangan berfokus pada hal tersebut.
“Setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, sebetulnya memiliki kadar maskulin dan feminin masing-masing, hanya saja, kadar mana yang lebih dominan di antara keduanya,” jelas Monica.
Pola asuh yang konstruktif menuntun orangtua untuk bisa memberikan edukasi pada anak tentang hal-hal yang ada pada dirinya, termasuk mengenali emosinya.
2. Menjadi Orangtua yang Supportive, Berwawasan Luas dan Open-Minded
Menjadi ideal memang sulit untuk dicapai, tapi bukan berarti hal ini tak bisa diusahakan. Anak tak perlu orangtua yang sempurna, tetapi yang terpenting dan dibutuhkan mereka adalah orangtua yang mendukungnya untuk tumbuh.
Cara yang bisa dilakukan orangtua agar bisa menjadi sosok yang supportive adalah dengan memvalidasi emosi anak dan menggali hal-hal yang ia rasakan.
“Anak-anak di bawah usia 5 tahun itu masih kesulitan mengenali emosinya sendiri, maka hal yang bisa orangtua lakukan adalah memvalidasi emosinya,” ujar Monica.
Setelah memvalidasi emosinya, orangtua juga bisa mengedukasi anak tentang cara untuk mengontrol emosinya dan memberikan ruang bagi si kecil dalam mengekspresikan perasaannya.
“Orangtua bisa memberianak kesempatan dengan mengatakan ‘Jadi kamu mau nangis ya? Yaudah nangis dulu ya, Bunda tunggu di sini’,” pungkasnya.
Setelahnya, orangtua juga bisa melakukan deeptalk dengan si kecil agar ia bisa mengenali perasaan seperti apa yang sebenarnya ia rasakan.
3. Menghindari Hukuman dengan Kekerasan atau Domestic Violance di Rumah.
Kebanyakan orangtua menganggap bahwa anak laki-laki harus dididik jauh lebih keras dari anak perempuan. Mereka pikir, pola asuh yang keras dapat membentuk si kecil menjadi pribadi yang tegar, tahan banting dan dominan.
Padahal, pola asuh seperti ini ternyata malah membentuknya menjadi pribadi arogan dan mengarah pada toxic masculinity.
“Didikan lebih keras malah membuat si anak cenderung melakukan pemecahan masalah dengan cara yang keras pula. Justru bisa mengarah ke agresif, domestic violance, bahkan bukan tidak mungkin si anak melakukan suicidal,” kata Monica.
Oleh sebab itu, anak laki-laki juga harus diperlakukan dan mendapatkan pola asuh yang lembut serta penuh cinta agar ia tumbuh menjadi sosok seperti itu pula.
“Hal-hal paling krusial dalam tumbuh-kembang anak yang memengaruhi mentalnya ialah segala hal yang berkaitan dengan kekerasan dan emosional. Oleh sebab itu, orangtua harus bijak dalam menyikapi persoalan tersebut,” tutup Monica.