Saat ini, tidak sedikit pasangan yang memilih mengadopsi anak sebagai buah hati mereka dengan beragam latar belakang yang mendasarinya.
Mulai dari alasan ingin berbagi kebahagiaan dengan anak kurang beruntung, hingga sebagai solusi karena belum dikaruniai anak.
Kartika Amelia, M.Psi, psikolog dari Human Care Consulting mengatakan, bahwa sebelum melakukan adopsi, penting untuk mengetahui terlebih dahulu alasan atau motivasi di baliknya.
Sebab ketika keputusan mengadopsi anak sudah diambil, itu artinya pengadopsi bertanggung jawab penuh sebagai orang tua.
“Yang menjadi pertanyaan adalah siapkah kita dan pasangan memberikan cinta kasih yang tak bersyarat kepada anak tersebut nantinya? Sebab setiap anak, baik anak adopsi ataupun anak kandung, membutuhkan penerimaan dan kasih yang tak bersyarat dari figur orang tuanya,” jelasnya.
Kartika juga menegaskan bahwa sebagai orang tua, mereka harus menerima dengan tulus kehadiran anak adopsinya. Jangan sampai terlontar kata-kata penyesalan di akhir.
“Ingatlah, proses adopsi itu sifatnya permanen, di mana anak akan selamanya menjadi bagian dalam keluarga. Karena itu jangan main-main saat memutuskan untuk melakukan adopsi,” katanya lagi.
Karenanya, hubungan antara orang tua dengan anak adopsi harus terjalin dengan erat. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan interaksi dan komunikasi yang intens, sehingga anak akan merasa aman, nyaman dan dicintai oleh orang tua angkatnya.
Status anak yang adopsi
Ada satu pertanyaan yang kerap muncul dan membuat orangtua angkat bingung, yaitu perlukah memberitahu anak mengenai asal-usulnya? Terlebih bagi orang tua yang mengadopsi anak sejak bayi.
Mengenai hal tersebut, Kartika berpendapat bahwa orangtua sebenarnya wajib menyampaikan identitas anak dan jangan berusaha untuk menutupinya.
“Setiap anak berhak mengetahui asal-usulnya untuk membentuk identitas diri. Akan lebih baik jika informasi mengenai anak adopsi itu didengar langsung dari orang tua angkatnya, bukan dari orang lain,” tegasnya.
Apabila anak mengetahui mengenai identitas dirinya dari orang lain, bukan tidak mungkin akan timbul krisis identitas, rasa kecewa, dan kehilangan rasa percaya terhadap orang tua angkatnya.
Lalu, kapan sebaiknya status adopsi tersebut diberitahu?
Menurut Kartika, sebisa mungkin beritahu anak sejak dini. Namun tetap disesuaikan dengan daya tangkapnya. Misalnya ketika anak masih berusia di bawah 6 tahun, maka konsep adopsi bisa dikenalkan melalui cerita-cerita bergambar yang sederhana.
Anak yang mengetahui status adopsinya sejak dini, secara bertahap akan memiliki konsep terkait adopsi yang lebih positif dibanding anak yang mengetahuinya dari orang lain atau baru diberitahu saat remaja.
“Bila setelah mengetahui statusnya, anak berulang kali mengajukan pertanyaan atau menunjukkan luapan emosi, maka orang tua harus lebih bersabar. Karena itu adalah sinyal yang diberikan anak untuk meyakinkan dirinya bahwa mereka memang dicintai dan tidak akan ditinggalkan oleh orang tua angkatnya,” terang Kartika.
Jangan jadikan anak adopsi sebagai ‘pancingan’
Kartika menyarankan agar jangan sekali-kali menjadikan adopsi sebagai ‘pancingan’ untuk mendapatkan anak kandung.
“Kan sering tuh, orang tua mengadopsi anak karena belum mempunyai anak kandung. Diharapkan dengan adanya anak adopsi, maka dapat memancing lahirnya anak kandung,” katanya.
Mengadopsi anak dengan motivasi tersebut jelas salah. Intinya, jangan jadikan anak sebagai alat untuk kepentingan orang tua. Jadilah orang tua untuk anak-anak yang akan dititipkan Tuhan.
Lebih jauh Kartika mengatakan bahwa alasan ‘pancingan’ saat mengadopsi anak dapat menimbulkan bibit pilih kasih ketika anak kandung telah lahir. Padahal, kasih sayang terhadap anak adopsi seharusnya tidak boleh berubah.
“Ketika memutuskan untuk mengadopsi anak, itu artinya kita harus siap memberikan kasih yang tak bersyarat serta menerimanya sebagai anak seumur hidup. Jadi sebelum memutuskan untuk mengadopsi, selami dulu alasan dibaliknya ya,” tutup Kartika.