Era digital memang terjadi begitu cepat, bahkan keseharian kita pasti tak pernah lepas dari penggunaan internet. Tak hanya itu, sistem digital juga sudah mulai merebak di dunia si kecil nih, Bun.
Anak-anak zaman sekarang atau generasi alpha, sudah sangat lekat dengan perkembangan digital. Bahkan bisa jadi, generasi ini jauh lebih hebat dan paham dengan dunia digital daripada Ayah dan Bundanya.
Sayangnya perkembangan digital yang sungguh luar biasa ini bagai pisau bermata dua yang menimbulkan konsekuensi negatif bagi penggunanya, terutama pada si kecil. Hal ini disebabkan oleh maraknya penyebaran konten digital yang tidak layak ditonton oleh anak-anak.
Contohnya seperti kartun yang memuat konten disturbing seperti ‘Skibidi Toilet’ yang ditiru si kecil, hingga kartun LGBTQ yang sempat meresahkan jagat maya. Oleh karena itu, Ayah dan Bunda perlu tahu sisi lain era digital yang bisa berdampak negatif bagi tumbuh-kembang anak.
Baca Juga: Kemenkes Edukasi Pentingnya 3M Plus dan Vaksin DBD Demi Cegah Demam Berdarah
Apa Saja Sih Sisi Gelap Era Digital yang Mungkin Terjadi?
Psikolog Klinis Anak Muthia Dwi Larasati, M.Psi., Psikolog. tak memungkiri berbagai manfaat dan dampak positif yang kita rasakan di era digital, namun hal ini juga tak lepas dengan bahaya yang turut hadir bersamanya.
Paparan konten digital yang berlebihan pada anak dapat memberikan dampak buruk untuk perkembangan fisik dan mentalnya. Dampak buruk yang ditimbulkan digital pada perkembangan fisik anak ialah sebagai berikut:
- Anak menjadi pasif dan enggan melakukan aktifitas fisik.
- Kecanduan gadget.
- Menolak permainan konkret atau permainan yang melibatkan fisik.
- Malas bergerak.
- Kurang terstimulasi kemampuan motorik kasar dan motorik halusnya.
- Anak enggan bersosialisasi secara langsung.
- Keterlambatan berbicara (speech delay).
Dalam perkembangan mentalnya, dampak buruk digital bisa menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
- Perubahan perilaku yang signifikan.
- Anak cenderung lebih suka menyendiri.
- Mudah tantrum dan marah karena hal-hal kecil.
- Lebih agresif dan tidak bisa mengontrol emosinya.
- Sulit fokus dan rentang atensinya lebih pendek dari anak-anak seusianya.
Memangnya, Seperti Apa Konten Digital yang Dinilai Berbahaya untuk Anak?
Muthia menyebut seluruh konten yang tidak sesuai dengan usia anak dikategorikan sebagai konten buruk untuk si kecil. Mulai dari konten dengan unsur pornografi, kata-kata kasar, kekerasan fisik, kekerasan verbal, peperangan yang berlebihan, pembunuhan, bahkan konten horror juga masuk dalam konten yang buruk untuk anak.
“Untuk anak usia di bawah 7 tahun, mereka masih sulit membedakan mana yang fiksi dan nyata. Seringkali, ketika mereka melihat suatu tontonan, mereka mengganggap hal itu nyata. Misalnya, ketika anak menonton film peperangan, ada orang tertembak atau tertusuk tetapi masih bisa hidup, dikhawatirkan mereka akan menirukannya di kehidupan nyata,” tutur Muthia.
Selain itu, konten yang mengandung unsur LGBTQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer) juga berpengaruh buruk apabila disaksikan oleh si kecil.
“Konsep seksualitas masih terlalu abstrak untuk dipahami oleh anak, khususnya anak di bawah usia 11 tahun. Karena menurut Teori Perkembangan Kognitif Piaget, anak usia di bawah 11 tahun berpikir masih agak terbatas pada hal-hal yang konkrit dan logis,” ujar Muthia.
Lalu, Kapan Seharusnya Si Kecil Boleh Mengakses Dunia Digital?
Menurut Muthia, tak ada aturan baku tentang kapan atau di usia berapa anak boleh memiliki gadget sendiri. Sebab di era seperti ini, bahkan anak usia sekolah dasar pun sudah melakukan pembelajaran melalui perangkat elektronik seperti ponsel pintar dan laptop.
“Maka dari itu, pemberian gadget pribadi untuk anak kembali lagi pada value yang dimiliki tiap orangtua serta kebutuhan anak seperti apa,” terang psikolog yang praktik di Pela 9 Education Center Kemang.
Walaupun begitu, ia sepakat bahwa anak usia di bawah 2 tahun tidak disarankan untuk terpapar media digital apapun, kecuali video call dengan keluarga. Sementara itu, anak usia 2-5 tahun sudah diperbolehkan mengakses kontn digital, namun dengan pendampingan penuh orangtua atau orang dewasa sambil melakukan interaksi dua arah dari konten yang mereka lihat.
“Misalnya, ‘itu kelincinya warna biru, sama dengan baju yang dipakai adek loh ini warna biru’. Bisa juga ketika sedang menonton konten tari-tarian, orangtua bisa mengikuti gerakan tari sambil menarasikan apa yang dilakukan. Contoh, ‘yuk berputar, sekarang lompat dua kali, hap, hap’,” kata Muthia.
Selain itu, ada hal yang perlu diperhatikan orangtua sebelum memberikan gadget ke anak, yakni:
- Pastikan anak sudah bisa menilai atau membedakan mana yang baik atau buruk.
- Mampu membedakan mana yang nyata dan yang fiksi.
- Berikan batasan atau aturan yang disepakati bersama tentang penggunaan gadget-nya.
Apa yang Harus Dilakukan Orangtua Ketika Anak Terlanjur Mengakses Konten Negatif di Internet?
Muthia menjawab, pertama-tama orangtua perlu menghadapi hal ini dengan hati dan pikiran yang tenang. “Usahakan ekspresi wajah netral, sehingga anak tidak merasa takut atau disalahkan,” ujarnya.
Selain itu, Ayah dan Bunda bisa melakukan hal-hal berikut:
- Ajak anak diskusi dengan tenang dan tanpa emosi.
- Tanyakan apa saja yang sudah mereka lihat atau tonton.
- Tanyakan pula, apakah mereka mengerti dengan isi konten yang diakses.
- Fasilitasi anak dengan suasana yang aman, nyaman, dan tanpa menghakimi.
- Dengarkan cerita, keluh kesah, ketakutan, dan kecemasan anak.
- Diskusi dan sepakati bersama konten apa yang boleh dilihat dan apa yang perlu dihindari.
- Jawab segala pertanyaan dan rasa penasaran anak dengan jawaban yang logis dan masuk akal.
“Bangun koneksi, hubungan, dan kelekatan yang sehat antara orangtua dan anak, agar mereka merasa aman dan nyaman untuk bercerita tentang apapun. Selain itu, usahakan untuk bersikap responsif, bukan reaktif. Jadi kalau anak ketahuan mengakses konten negatif, ajak diskusi dua arah, jangan langsung memarahi atau menghakimi anak,” jelas Muthia.
Tips Jaga Si Kecil dari Sisi Gelap Era Digital
Ayah dan Bunda tentu tidak ingin kalau si kecil tumbuh menjadi anak yang ketergantungan gadget, tak mampu bersosialisasi, dan hobi menyendiri, ‘kan? Untuk itu, Muthia memiliki beberapa tips yang bisa Ayah dan Bunda lakukan agar anak tetap bisa menggunakan gadget dalam batas wajar, sekaligus menikmati hidup dengan penggunaan gadget yang terkontrol.
- Luangkan waktu berkualitas (quality time) dengan anak setidaknya 15 menit setiap harinya.
- Usahakan untuk selalu present, dan here and now ketika quality time dengan anak.
- Tanamkan nilai-nilai baik yang dianut keluarga pada anak dengan cara yang menyenangkan, bukan menakuti apalagi mengancam.
- Pupuk sejak kecil bahwa gadget hanyalah hiburan.
- Buat aturan yang jelas terkait durasi dalam menggunakan gadget.
- Ayah dan Bunda perlu memberi contoh dengan tidak sering-sering bermain gadget di hadapan si kecil.
- Cari hobi atau kegiatan yang disukai anak, dan lakukan aktivitas tersebut bersama-sama.
- Ayah dan Bunda harus saling bekerjasama dalam merawat dan menjaga anak.
- Bentuk support system terbaik dalam lingkungan keluarga.