Perceraian memang kerap meninggalkan luka. Itu sebabnya perlu penanganan yang tepat agar tidak berdampak buruk pada anak.
Sejatinya, perceraian bukanlah hal yang didambakan setiap pasangan. Namun untuk beberapa kasus dalam rumah tangga, perceraian kerap kali tidak bisa dihindari sehingga menjadi jalan keluar terbaik untuk keduanya.
Salah satu alasannya adalah supaya anak tak perlu mendengar teriakan dan pertengkaran lagi sehingga aura negatif yang penuh dengan rasa sakit hati juga bisa dihindari.
Meski demikian, harus diakui bahwa setiap perpisahan akan meiinggalkan luka. Terlebih bila pasangan tersebut sudah dikaruniai anak, tentu akan membuat permasalahan semakin rumit. Karenanya, keputusan untuk bercerai harus dikaji ulang, dipikirkan dengan matang dan tidak mengandalkan ego semata.
Jika akhirnya bercerai memang diyakini sebagai keputusan terbaik, usahakan untuk melakukannya dengan tenang tanpa harus ada keributan dan emosi yang justru bisa memperparah kondisi batin anak.
Menurut psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, S.Psi, M.Psi, hampir sebagian besar perceraian akan meninggalkan shocked memory yang akan diingat sang anak hingga dewasa.
“Tak hanya itu, anak pun bisa saja kesulitan beradaptasi terhadap perubahan-perubahan kecil pasca perceraian. Karenanya orangtua harus jeli mengelola perhatian dan perasaan anak saat melewati fase ini agar kelak tidak mempengaruhi tumbuh kembang jiwa serta mentalnya.” Ungkap Anna.
Selain itu, anak juga bisa cenderung merasa malu dengan kondisi keluarganya, takut ditinggalkan, merasa kehilangan, terus berharap orangtuanya bersatu kembali, cemas mengenai kesejahteraan masing-masing orangtuanya, kurang percaya terhadap kesetiaan hingga merasa tidak yakin mengenai relasi berpasangan.
Apa yang terjadi saat dan pasca perceraian?
Dalam kesempatan yang sama, Anna, psikolog anak dan keluarga ini juga mengatakan bahwa ada dua fase penting dalam perceraian yang harus diperhatikan orangtua yaitu saat perceraian dan pasca perceraian.
Kedua fase ini tentu akan menimbulkan berbagai macam permasalahan berbeda yang akan berpengaruh pada psikis anak.
Pada saat perceraian, bagian tersulit adalah menjelaskan kepada anak tentang pengertian dan alasan mengapa ayah dan bunda berpisah. Hal ini bisa disiasati dengan mengondisikan suasana yang nyaman saat menyampaikan alasan kepada anak.
Orangtua bisa menyampaikannya di akhir pekan. Jangan lupa sampaikan dengan bahasa yang sederhana namun jelas dan jujur.
Selain itu, orangtua juga harus siap menerima emosi anak yang meledak seketika. Tenangkan atau biarkan dulu sampai kondisi anak membaik. Tak masalah bila pembicaraan ini harus berlangsung beberapa kali hingga anak bisa memahami dan menerima apa yang terjadi.
“Jangan lupa berikan penekanan bahwa perceraian ini bukan disebabkan kesalahan anak-anak. Selain itu, ada baiknya orangtua tetap mengondisikan suasana di rumah seperti biasa. Sekalut apapun perasaan dan emosi orangtua, perasaan anak tetaplah menjadi prioritas yang harus dijaga.” ujar Anna.
Sementara pada pasca perceraian, bukan berarti orangtua bisa bernapas lega. Sebab problema yang timbul justru akan lebih rumit.
Pertama, perihal hak asuh anak apakah akan diserahkan kepada bunda atau ayah?
Ada baiknya untuk menunggu keputusan dari pengadilan perihal hak asuh anak tanpa perlu ada keributan. Pada proses tersebut, orangtua juga harus membicarakannya langsung dengan anak.
Bila hak asuh jatuh pada salah satu pihak, jangan lupa tekankan bahwa mereka tetap akan mendapatkan kasih sayang penuh dari ayah atau bundanya meski tak lagi tinggal satu rumah.
“Anak-anak, terutama usia TK atau SD akan cenderung mengalami perubahan perilaku pasca perceraian orangtua. Mereka bisa jadi akan lebih rewel, nakal, bahkan murung sepanjang hari. Karena itulah, orangtua sebaiknya memberitahu pada guru perihal perceraian yang terjadi, sehingga guru mengetahui latar belakang dari sikap anak yang demikian.” tutup Anna.