Pernah mendengar tentang retensio plasenta?
Retensio plasenta adalah kondisi di mana plasenta tidak ikut lepas saat ibu melahirkan. Akibatnya dapat terjadi pendarahan hebat yang menyebabkan kematian.
Hal tersebut juga sejalan dengan penjelasan dari dr. Dachrial Daud, SpOG dari Mom and Child Care Clinic, Serpong. Ia menjelaskan bahwa retensio plasenta adalah suatu kondisi di mana plasenta tak kunjung keluar setelah 30 menit bayi dilahirkan.
Bila hal tersebut terjadi, maka sangat berisiko terjadi pendarahan hebat dan jika tidak cepat ditangani, ibu dapat mengalami syok yang berujung pada kematian.
“Itu sebabnya retensio plasenta perlu diwaspadai, terlebih pada ibu hamil ketika menjelang kelahiran,” jelas dokter Dachrial.
Penyebab retensio plasenta
Tidak keluarnya plasenta sudah pasti disebabkan karena plasenta melekat atau tertanam dalam rahim sehingga tidak bisa terlepas sebagaimana plasenta dalam kondisi normal.
“Pada kondisi umum, plasenta seharusnya hanya melekat di dinding rahim secukupnya, bukan tertanam,” pungkas dokter Dachrial.
Namun, dalam beberapa kasus dan kondisi tertentu, pembuluh darah atau bagian-bagian lain dari plasenta melekat terlalu dalam pada dinding rahim.
Lebih lanjut dokter Dachrial memaparkan penyebab bagian endometrium mengalami kerusakan. Di antaranya akibat bekas operasi, kuret, atau cacat bawaan lahir.
Selain itu, kerusakan pada bagian endometrium juga bisa disebabkan karena adanya luka atau infeksi.
“Risiko retensio plasenta ini juga lebih besar menyerang ibu yang mengidap tumor. Karenanya ibu perlu berhati-hati dan selalu waspada,” sarannya.
Beda retensio plasenta akreta, inkreta, dan perkreta
Pada kesempatan yang sama dokter Dachrial juga menjelaskan bahwa dalam dunia kedokteran, retensio plasenta terbagi menjadi tiga yakni plasenta akreta, plasenta inkreta, dan plasenta perkreta.
Sebelum membahas mengenai beda tiga plasenta tersebut, terlebih dahulu harus dipahami bahwa ada 3 lapisan pada dinding rahim.
Lapisan yang terdalam disebut endometrium, lapisan tengah disebut miometrium, dan lapisan luar disebut perimetrium.
“Agar lebih mudah kita bisa membayangkan rahim seperti buah alpukat. Saat biji alpukat diangkat, kita bisa melihat ada lapisan tipis di bagian dalam buah alpukat yang dapat kita andaikan sebagai endometrium. Lalu bagian buah alpukat yang serupa dengan miometrium, dan bagian kulit luar selayaknya perimetrium,” jelas dokter Dachrial.
Pada kondisi normal, plasenta melekat di lapisan endometrium dan akan terlepas serta lahir dengan normal setelah bayi keluar dari rahim ibu.
Sedangkan pada plasenta akreta, kondisi plasenta melekat hingga memasuki sebagian miometrium.
Kemudian pada plasenta inkreta, plasenta melekat masuk hingga ke seluruh bagian miometrium.
Lain halnya dengan plasenta perkreta yang menembus hingga ke bagian perimetrium atau lapisan terluar dari rahim.
“Jadi intinya ankreta, inkreta, dan perkreta itu adalah retensio plasenta yang perbedaannya terletak pada seberapa jauh plasenta melekat pada dinding rahim,” katanya.
Cara mendeteksi retensio plasenta
Masih menurut dokter Dachrial, secara awam, ibu hamil tidak dapat merasakan atau mendeteksi adanya retensio plasenta.
Itu sebabnya sangat penting bagi ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan rutin. Terlebih saat cek USG, ibu hamil bisa mendiskusikan dengan dokter mengenai kondisi plasenta.
“Jangan ragu untuk menanyakan apakah ada kemungkinan retensio plasenta atau tidak,” tegasnya.
Sebab faktanya, retensio plasenta memang sulit dideteksi di awal kehamilan karena kondisi plasentanya masih terlalu kecil sehingga belum dapat dilihat melekatnya normal atau terlalu dalam.
Pada bulan ke-7 atau bulan ke-8 kehamilan, barulah melalui USG letak plasaenta dapat terlihat dan terdeketsi apakah apakah ibu berisiko mengalami retensio plasenta atau tidak.
Cara mengatasi retensio plasenta
Bila ibu telah mengalami retensio plasenta, maka hal pertama yang harus dilakukan dokter adalah yakin kondisi dari retensio plasenta yang dialami si ibu. Apakah termasuk retensio plasenta akreta, inkreta atau perkreta.
Jika ternyata plasenta akreta yang dialami dan terhitung masih tidak terlalu dalam melekatnya, maka diharapkan dapat dilepaskan tanpa operasi.
“Itu sebabnya, dokter mungkin masih bisa mempertimbangkan persalinan secara normal karena pada kondisi plasenta akreta, rahim masih bisa dipertahankan,” terang dokter Dachrial.
Lain halnya bila ibu sudah dipastikan mengalami plasenta inkreta dan perkreta.
Guna menghindari terjadinya komplikasi, maka biasanya ibu harus melahirkan secara caesar agar dapat dilakukan penanganan medis lanjutan untuk mengangkat plasenta yang melekat.
“Pada plasenta inkreta masih ada kemungkinan rahim dipertahankan, dengan catatan dilihat kembali kondisi rahim si ibu saat itu. Sedangan pada perkreta kemungkinan besar rahim harus diangkat karena sudah mengalami kerusakan,” tutup dokter Dachrial.