Gen Alpha, yakni generasi yang lahir di atas tahun 2010 hingga kini, dinilai lebih cepat puber dan dewasa. Mereka bahkan sudah berpacaran dan cinta-cintaan di usia yang sangat dini, yakni pada masa Taman Kanak-Kanak (TK).

Perkembangan digital yang semakin masif hari ini, membuat gen Alpha mudah mengkases segala macam informasi terkait hal-hal dewasa yang membawa mereka lebih cepat puber.

Hal ini diungkapkan oleh Psikolog Spesialis Pengasuhan Anak, Elly Risman Musa, yang menyebut bahwa anak sekarang bahkan sudah mengenal pacaran sejak dalam kandungan.

“Kata pacaran sudah masuk ke telinga anak mungkin sudah sejak kandungan ya. Sebab kita orang dewasa sering membicarakannya, itu yang kita lupa,” ujarnya.

Tak heran, anak-anak sekarang menganggap pacaran, cinta-cintaan hingga seks menjadi suatu hal yang familiar. Saking familiarnya, mereka tak segan untuk melakukan hal tersebut sedini mungkin.

Sudah banyak realitanya, seperti yang terjadi pada anak perempuan berinisial YK di Surabaya yang kecanduan seks di usia 8 tahun. Pelecehan seksual yang dilakukan anak kelas 6 SD kepada teman perempuannya di sekolah. Bahkan, awal tahun kemarin ada kasus seorang anak TK di Mojokerto yang menjadi korban rudapaksa 3 anak SD.

Tak heran jika gen Alpha disebut lebih cepat puber dan dewasa, anak sekecil itu sudah melakukan hal-hal yang jelas bukan untuk umurnya.

Lantas, apa kejadian ini murni karena dampak buruk perkembangan zaman? Atau malah karena kita sebagai orangtua yang tak mampu menjaga dan merangkul anak-anak kita dengan erat?

Simak penjelasan dari Psikolog Elly Risman yuk, Bun!

Baca Juga: Udara Jakarta Memburuk, Ini 6 Tips Cegah ISPA Anak!

Gen Alpha Cepat Puber Dimulai dari Bercandaan Orangtua

Elly Risman menyebut, seringkali yang membuat gen alpha jadi lebih cepat puber karena orangtua yang abai dan menganggap hal yang terjadi sebagai bercandaan. Orangtua kerap menganggap anak-anak yang cinta-cintaan dan berpacaran sebagai suatu hal yang lucu, bahkan tak jarang mereka menjodoh-jodohkan anak mereka ke arah romantis.

“Sekarang orangtua itu dalam menghadapi anak harus dianggap secara serius, bukan bercandaan atau lucu-lucuan. Pacaran di dalam kepala orangtua dan pacaran di kepala anak-anak itu beda. Jangan pikir gaya pacarannya akan sama seperti saat kalian muda, itu salah besar, fatalistik,” terang Bunda Elly.

Sebab, realita yang dihadapi Bunda Elly dalam menangani gen Alpha, anak-anak memandang pacaran sudah ke arah hubungan seksual dan pornografi yang biasa dipertontonkan media sosial. Jadi, jangan pernah abai dan merasa bahwa romantisme anak-anak hanya sebatas bercandaan ya, Bun.

Kurangnya Pendidikan Seks Sedari Dini Jadi Sebab Gen Alpha Cepat Puber

Pendidikan seks di Indonesia masih menjadi hal yang tabu. Orangtua seringkali abai dan merasa pelajaran tentang seksualitas diajarkan nanti ketika anak dewasa. Padahal, Bunda Elly menyebut bahwa info mengenai seksualitas harus diajarkan pada si kecil sejak usia 2,5 tahun.

“Banyak sekali seks itu diomonginnya belakangan. Padahal anak sekarang itu sejak awal harus dibekali dengan pengetahuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh, halal-haram, role-play tentang pacaran dan jatuh cinta. Bekal ini harus diberikan sejak anak berusia 2,5 tahun,” paparnya.

Pendidikan seks yang dimaksud Bunda Elly pun tak sebatas pada pengenalan jenis kelamin atau bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh diperlihatkan. Hal ini juga tentang bagaimana anak berpakaian, cara berbicara, cara menunjukkan diri, cara bersikap, bertanya dan menjawab. Ini poin-poin yang menjadi PR orangtua dalam mengajarkan materi seksualitas pada si kecil.

Konsep Diri dan Sikap Kritis yang Kurang Ditanamkan Orangtua ke Anak

Anak yang tidak tahu tentang konsep dirinya akan mudah terjerumus dalam perilaku-perilaku yang menyimpang. Bunda Elly menyebut, anak-anak mudah terpengaruh dalam hal-hal yang menyangkut romantisme orang dewasa dan penyimpangan seksual karena diri mereka kosong. Tidak ada yang pernah memberitahunya kalau diri mereka berharga dan harus dijaga.

“Maka dari itu, seksualitas harus dibangun sejak usia 2 tahun karena ini menyangkut dengan konsep diri, bukan hanya seks saja. Anak tahu nggak dirinya berharga? Kemampuan berpikir kritis, pengetahuan agama masing-masing, tentang tubuh? Kita ini membesarkan anak-anak di era digital,” pungkasnya.

Bedakan Topik yang Bisa Dijadikan Bahan Candaan dan yang Harus Disikapi dengan Tegas

Ayah dan Bunda juga perlu tahu apa hal-hal yang bisa menjadi bercandaan dengan si kecil dan mana yang tidak. Topik serius yang dijadikan bercandaan seperti pacaran, akan menjadi PR panjang yang berdampak besar bagi hidup si kecil.

“Sekarang ada hal lain yang orangtua harus ingat. Anak umur 4 tahun sudah pegang gadget segala macam. Itu yang bikin gen Alpha lebih cepat baligh (puber). Sebelum si kecil keburu ketahuan punya pacar, orangtua harus sudah membekali dengan serius apa itu cinta-cintaan, konsep pacaran dan seksualitas sejak awal,” terangnya.

Bunda Elly juga menyebut, jatuh cinta atau suka-sukaan di masa anak-anak dan remaja memang hal yang wajar dan normal. Meski begitu, yang harus orangtua perhatikan adalah langkah selanjutnya dari jatuh cinta tersebut.

“Ketika anak cerita bahwa ia jatuh cinta pertama kalinya, orangtua harus meresponnya dengan santai. Tanyakan ke dia, bagaimana rasanya, kenapa bisa suka, dan bagaimana cara teman-temannya berpacaran,” ungkapnya.

Kurangnya Figur Ayah yang Bisa Jadi Tempat Diskusi Si Kecil

Lagi-lagi, sosok Ayah memang tak hanya sebagai si pencari nafkah dalam keluarga, seperti yang lazim kita ketahui. Bunda Elly menyebut bahwa Ayah harus mampu melindungi keluarganya dari segala macam hal buruk. Bagaimana caranya? Buka ruang diskusi, mengobrol, bentuk pola komunikasi yang baik dan terbuka di rumah.

Ayah sudah tidak bisa menjadi sosok yang hanya diam, dingin, dan lepas tangan. Ayah harus ikut terjun langsung dalam pengasuhan dan memastikan putra-putrinya tidak salah langkah dalam pergaulan.

“Paling baiknya diskusi tentang hal-hal mengenai logika, sikap dan kritis itu pada Ayahnya,” jelas Bunda Elly.

Luangkan waktu minimal 1 jam per minggu untuk mengobrol dengan si kecil mengenai kehidupannya. Diskusi tentang pacaran, tentang jatuh cinta, hubungan lawan jenis, dan sebagainya tak hanya dalam perspektif agama, tetapi juga neurosains dan biologi.

“Jadi Ayah bisa memberitahu anak, ‘Dampak dari pacaran seperti ini, lho. Otak kita kalau pacaran itu akan menghasilkan zat yang bikin ketergantungan, dan bla bla bla. Kamu mau nggak kayak gitu?’ Anak jadi bisa berpikir untuk menolak pacaran dini,” tutupnya.