Di era digital seperti sekarang, banyak orang tua gemar membagikan momen tumbuh kembang anak di media sosial. Mulai dari foto lucu, pencapaian pertama, hingga rutinitas harian, semuanya terasa wajar dilakukan. Namun, tanpa disadari, kebiasaan ini bisa menjadi bentuk oversharing anak di media sosial yang berdampak pada privasi dan keamanan si kecil. Apa yang terlihat sepele ternyata bisa menyisakan jejak digital jangka panjang yang sulit dihapus.
Octavia Putri, S.Psi., M.I.Kom., M.Psi., Psikolog menekankan bahwa menjaga privasi anak di dunia maya adalah hal yang sangat penting.
“Setiap informasi yang diunggah ke internet meninggalkan jejak digital dan sulit dihapus. Ini bisa berdampak jangka panjang bagi anak, baik dari segi keamanan, kesehatan mental, maupun masa depan mereka,” jelas Octavia.
Bentuk Pelanggaran Privasi Anak
Menurut Octavia, banyak orang tua tidak sadar bahwa mereka kerap melanggar privasi anak. Contohnya, mengunggah foto atau video anak saat menangis, marah, atau tanpa busana, seperti saat mandi atau berenang.
“Konten-konten seperti ini berpotensi membuat anak merasa dipermalukan. Saat remaja, bisa saja konten tersebut dijadikan bahan bullying oleh teman-temannya. Lebih berbahaya lagi, dapat disalahgunakan oleh predator seksual di dunia maya,” tegasnya.
Selain itu, ada pula kebiasaan membagikan data pribadi anak, seperti nama lengkap, tanggal lahir, lokasi, bahkan jadwal kegiatan yang berpotensi mengundang kejahatan, pencurian identitas hingga penculikan.
Dampak Oversharing Anak di Media Sosial
Ketika kehidupan anak terekspos sejak dini, ada banyak konsekuensi psikologis yang bisa muncul. Mereka akan terbiasa dengan penggunaan gadget dan media sosial di usia yang belum semestinya. Lebih jauh, paparan ini bisa menimbulkan risiko cyberbullying dan komentar negatif yang merusak kesehatan mental.
“Foto atau video yang memalukan, ketika beredar luas, bisa jadi bahan ejekan. Belum lagi komentar netizen yang menyakitkan, itu bisa melukai anak secara psikologis,” ungkap Octavia.
Dampak lainnya adalah kesulitan anak dalam membangun keterampilan sosial di dunia nyata, kecemasan karena harus selalu terlihat sempurna, hingga gangguan identitas karena terlalu bergantung pada validasi eksternal.
“Anak bisa tumbuh dengan perasaan bahwa harga dirinya bergantung pada jumlah like atau komentar di media sosial,” tambahnya.
Menyikapi Fenomena Little Influencer
Belakangan, banyak anak yang sudah menjadi influencer atau dikenal dengan sebutan kidfluencer. Hampir seluruh aktivitas mereka dibagikan ke media sosial. Menurut Octavia, fenomena ini perlu disikapi dengan bijak.
“Orang tua harus memastikan kesejahteraan fisik dan mental anak tetap yang utama. Jangan memaksa anak melakukan berbagai hal yang tidak mereka sukai hanya demi konten,” jelasnya.
Ia menambahkan, orang tua juga harus selektif membedakan mana kehidupan pribadi anak dan mana yang layak dibagikan ke publik.
Selain itu, penting bagi orang tua untuk melibatkan anak dalam pengambilan keputusan. Anak berhak memberikan pendapat atau bahkan menolak jika tidak nyaman.
“Apalagi yang diunggah tentang dirinya, sudah seharusnya anak dimintai persetujuan,” katanya.
Lantas Apa Saja Hal yang Harus Dipahami Orang Tua Sebelum Membagikan Momen Buah Hatinya di Media Sosial?
Menurut Octavia, ada beberapa tips sederhana yang bisa dilakukan agar orang tua jika ingin mendokumentasikan momen anak tanpa mengorbankan privasinya, yakni:
- Lindungi data diri anak dengan menghindari membagikan nama lengkap, lokasi sekolah, alamat rumah, dan rutinitas hariannya
- Gunakan pengaturan privasi agar konten tidak terbuka untuk publik
- Terapkan jeda 10 detik sebelum mengunggah untuk bertanya pada diri sendiri, “Apakah anak saya akan merasa malu atau tidak nyaman jika melihat postingan ini 10 tahun ke depan?”, jika merasa ragu, lebih baik jangan diposting
- Diskusikan dan minta persetujuan anak, terutama jika mereka sudah cukup besar
Sebagai penutup, Psikolog Klinis Anak, Octavia, mengingatkan bahwa anak bukan sekadar objek konten. Jika tujuan utama adalah menyimpan kenangan, orang tua bisa mencari cara yang lebih aman seperti membuat album foto fisik atau menyimpan dokumentasi digital secara pribadi.
“Anak bukan proyek untuk mencari popularitas atau keuntungan finansial di media sosial. Mereka punya hak atas privasi dan kenyamanannya sendiri. Postinglah dengan bijak dan ingatlah apa yang orang tua bagikan hari ini bisa memengaruhi masa depan psikologis anak di kemudian hari,” tutupnya.