check it now

Emotional Eating dan Risiko Gangguan Pola Makan di Masa Depan

Emotional eating adalah kebiasaan makan yang dipicu oleh emosi, bukan kebutuhan tubuh. Jika dibiarkan, pola ini dapat meningkatkan risiko gangguan pola makan dan masalah kesehatan di masa depan, terutama pada anak.

Daftar Isi Artikel

Emotional eating merupakan pola makan yang dipicu oleh kondisi emosional, bukan oleh kebutuhan fisiologis tubuh akan energi dan nutrisi. Pada situasi ini, makanan sering kali digunakan sebagai pelarian dari perasaan tidak nyaman seperti stres, kesepian, kebosanan, atau kekecewaan. Jika tidak disadari dan dikelola dengan baik, emotional eating dapat berkembang menjadi kebiasaan yang berdampak pada kesehatan fisik maupun mental, termasuk meningkatkan risiko gangguan pola makan di masa depan.

Makan pada dasarnya adalah respons alami tubuh untuk mempertahankan keseimbangan energi. Namun, pada sebagian individu, fungsi makan dapat bergeser menjadi mekanisme coping emosional. Fenomena inilah yang dikenal sebagai emotional eating.

Menurut dr. Nisak Humairok, Sp.A, dokter spesialis anak di RSUD Komodo, Labuan Bajo, emotional eating terjadi ketika seseorang menggunakan makanan sebagai sarana untuk mengatur emosi.

Pada kondisi ini, makan menjadi bentuk pelarian atau pengalihan dari perasaan negatif, bukan respons terhadap kebutuhan energi tubuh,” jelasnya.

Perbedaan Lapar Fisiologis dan Lapar Emosional

Lapar fisiologis atau physical hunger muncul secara bertahap dan ditandai oleh sinyal biologis tubuh, seperti perut berbunyi, rasa lemas, atau penurunan energi. Jenis lapar ini umumnya dapat dipuaskan dengan berbagai pilihan makanan bergizi.

Sebaliknya, lapar emosional atau emotional hunger muncul secara tiba-tiba dan sering kali disertai keinginan spesifik terhadap makanan tertentu, terutama yang tinggi gula, lemak, atau garam, seperti camilan manis dan makanan cepat saji.

Lapar emosional muncul mendadak dan biasanya sulit dikendalikan. Sedangkan lapar yang sesungguhnya bisa dipuaskan oleh berbagai jenis makanan bernutrisi, tidak terbatas pada satu jenis rasa tertentu,” ujar dr. Huma.

Ketidakmampuan membedakan kedua jenis lapar ini menjadi salah satu faktor utama yang memperkuat pola emotional eating.

Faktor Pemicu Emotional Eating

Emotional eating tidak terjadi secara tunggal, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Beberapa di antaranya adalah stres kronis, tekanan akademik atau sosial, minimnya dukungan emosional dalam keluarga, serta paparan berlebihan terhadap makanan ultra-proses (ultra-processed food / UPF).

Dr. Huma menambahkan bahwa saat ini UPF sangat mudah diakses dan dipromosikan secara masif, terutama melalui media sosial.

UPF kini sangat mudah diakses dan dikemas secara menarik di media sosial. Kombinasi visual yang menggugah dan efek cepat kenyang sering kali tanpa disadari dapat memperkuat emotional eating,” ungkapnya.

Dampak Emotional Eating terhadap Kesehatan Fisik dan Mental

Jika berlangsung dalam jangka panjang, emotional eating dapat mengganggu sistem pengaturan rasa lapar dan kenyang dalam tubuh. Konsumsi berulang yang dipicu emosi berpotensi menyebabkan disregulasi sistem neuroendokrin, khususnya pada jalur dopamin dan hormon stres seperti kortisol.

Akibatnya, seseorang menjadi semakin sulit membedakan antara lapar fisik dan lapar emosional. Menurut dr. Huma, kondisi ini dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan, antara lain:

  • Kenaikan berat badan berlebih dan risiko sindrom metabolik, termasuk diabetes melitus tipe 2 di usia muda
  • Gangguan suasana hati akibat fluktuasi kadar gula darah dan ketidakseimbangan neurotransmitter
  • Penurunan kepercayaan diri dan ketidakpuasan terhadap citra tubuh (body image dissatisfaction)
  • Terbentuknya pola makan tidak teratur yang berpotensi berkembang menjadi gangguan makan
  • Penurunan sensitivitas tubuh terhadap sinyal kenyang, sehingga memicu siklus makan berlebihan

Pentingnya Pencegahan Emotional Eating Sejak Dini

Pencegahan emotional eating idealnya dimulai sejak masa kanak-kanak dengan membangun hubungan yang sehat antara emosi dan makanan. Dalam hal ini, peran orang tua sangat krusial.

Menurut dr. Huma, anak yang mendapatkan dukungan emosional yang memadai akan lebih mampu mengenali dan mengekspresikan perasaannya tanpa harus menjadikan makanan sebagai pelarian.

Anak yang terbiasa didengar dan divalidasi emosinya cenderung tidak mencari pelampiasan pada makanan. Karena itu, komunikasi terbuka jauh lebih efektif daripada sekadar melarang anak makan snack,” ujarnya.

Beberapa langkah yang dapat diterapkan orang tua antara lain:

  • Menghindari penggunaan makanan sebagai hadiah atau penghibur saat anak sedih, bosan, atau kecewa
  • Menjadi teladan dalam pengelolaan stres dan kebiasaan makan sehat
  • Menyediakan makanan utuh bergizi (real food) di rumah dan membatasi konsumsi makanan ultra-proses
  • Membangun rutinitas makan yang teratur agar anak terbiasa mengenali rasa lapar yang sebenarnya
  • Mengenalkan cara mengelola stres secara positif, seperti olahraga, aktivitas seni, journaling, atau bermain di luar ruangan

Emotional eating bukan hanya kebiasaan “makan karena bosan”, melainkan fenomena kompleks yang melibatkan interaksi antara faktor psikologis, sosial, dan biologis.

Dengan edukasi yang tepat serta keteladanan sejak dini, anak dapat tumbuh dengan pola makan yang lebih sadar, seimbang, dan adaptif terhadap stres kehidupan. Dokter Huma menegaskan bahwa emosi merupakan bagian alami dari kehidupan dan tidak perlu ditekan.

Namun penting bagi anak untuk belajar bahwa cara menenangkan diri tidak selalu dengan makanan,” pungkasnya.

Let's share

Picture of Nazri Tsani Sarassanti

Nazri Tsani Sarassanti

Daftar Isi Artikel

Updates