check it now

Efek Medsos pada Anak: Dari Kecanduan hingga Brain Rot

Paparan media sosial yang berlebihan pada anak bisa berdampak buruk, mulai dari kecanduan hingga risiko brain rot. Orang tua wajib waspada!

Daftar Isi Artikel

Di tengah derasnya arus digital, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan, termasuk bagi anak-anak. Sayangnya, tak semua konten yang tersaji di dalamnya ramah bagi perkembangan otak mereka. Dari video pendek yang lucu hingga konten absurd yang viral, semuanya hadir tanpa filter yang jelas. Meski terlihat menghibur, efek medsos pada anak biasa berdampak negatif jika tidak dibatasi dan diawasi dengan bijak.

Salah satu dampak yang mulai banyak dibicarakan adalah brain rot, yaitu kondisi di mana otak anak menjadi pasif akibat terlalu sering terpapar konten cepat, instan, dan minim stimulasi. Jika tidak ditangani, kecanduan media sosial dapat mengganggu konsentrasi, emosi, dan perkembangan kognitif anak dalam jangka panjang.

Baca Juga : Konten Anomali: Ancaman Tersembunyi di Balik Video Lucu bagi Tumbuh Kembang Anak

Apa Itu Brain Rot dan Mengapa Anak Rentan Mengalaminya?

Psikolog Klinis Anak, Elisabeth Santoso, M.Psi., Psikolog, menjelaskan bahwa meski bukan istilah medis resmi, brain rot menggambarkan kondisi menurunnya kemampuan berpikir dan fungsi kognitif anak akibat konsumsi konten media sosial yang kurang berkualitas.

Konten yang dimaksud berbeda dengan tayangan produksi profesional yang memiliki cerita dan alur yang jelas. Media sosial dipenuhi dengan konten buatan pengguna (UGC) yang sering kali dibuat tanpa pemahaman tentang tumbuh kembang anak, sinematografi yang baik atau nilai edukatif yang jelas,” terangnya.

Lantas, mengapa konten sejenis ini begitu menggoda bagi anak?

Konten menyimpang atau absurd yang beredar luas di media sosial biasanya mengandung elemen repetitif dan mengejutkan. Misalnya tawa yang diulang-ulang, ekspresi yang berlebihan atau efek jumpscare

Ketika otak anak menerima rangsangan yang baru, aneh dan tak biasa, maka akan terjadi pelepasan hormon dopamin atau zat kimia di otak yang menimbulkan rasa senang,” lanjutnya.

Fenomena ini disebut dopamin farming, yaitu kondisi saat otak terus mencari “spark” atau kesenangan instan. Jika terjadi terus-menerus, anak akan sulit menikmati aktivitas yang membutuhkan konsentrasi lebih seperti membaca atau menonton film dengan alur cerita yang kompleks.

Efek Medosos pada Anak Secara Psikologis dan Kognitif

Paparan konten menyimpang di media sosial dapat memberi dampak nyata terhadap perkembangan otak anak. 

Elisabeth yang juga merupakan CEO @kupompong.id, mengatakan ada sejumlah gangguan yang dapat muncul, di antaranya: 

  • Penurunan fokus dan konsentrasi
  • Kesulitan memahami alur cerita panjang
  • Ketergantungan pada stimulasi yang cepat dan instan
  • Menurunnya minat membaca atau menyimak informasi yang bermakna
  • Meningkatnya toleransi terhadap hal-hal yang absurd atau tidak wajar

Hal ini akan berpengaruh pada proses belajar dan interaksi anak di dunia nyata. Mereka bisa jadi kurang sabar, cepat bosan bahkan mengalami kesulitan dalam memahami konteks sosial dan emosi,” jelas Elisabeth.

Lalu, adakah kelompok usia yang lebih rentan mengalami brain rot?

Ayah dan Bunda perlu waspada terhadap risiko brain rot pada anak usia 3-8 tahun. Sebab pada rentang usia ini otak anak sedang berada pada fase penyerapan maksimal.

Pada usia 3-5 tahun, anak sedang membangun pemahaman simbolik terhadap dunia. Konten absurd bisa mengganggu persepsi mereka tentang hal yang wajar dan tidak wajar.

Sementara pada usia 6-8 tahun, anak mulai berpikir logis, namun masih linier. Konten yang melenceng dari nalar bisa dianggap lucu dan menarik, tanpa memahami nilai di baliknya.

Tanda-Tanda Awal Anak Mengalami Brain Rot & Cara Mengatasinya

Ayah dan Bunda, terdapat beberapa tanda yang bisa menjadi sinyal bahwa anak mulai mengalami brain rot, yaitu: 

  • Sulit fokus dan cepat terdistraksi, terutama saat belajar atau menyimak informasi
  • Malas belajar, sering menunda-nunda dan cenderung menghindari aktivitas berpikir (avoidant)
  • Ketergantungan gadget, sulit lepas dan sering rewel bahkan tantrum jika tidak diberi akses
  • Kehilangan minat membaca
  • Sering mengucapkan istilah dari dunia maya tanpa memahami konteksnya

Jika anak sudah terlanjur terpapar, apa yang bisa Ayah dan Bunda lakukan?

Menurut Elisabeth, kunci utama untuk membantu anak bukanlah langsung melarang atau memarahi, melainkan membangun koneksi sebelum koreksi.

Anak yang merasa aman dan terhubung secara emosional dengan orang tuanya akan lebih mudah menerima aturan dan arahan, termasuk dalam hal penggunaan media sosial,” tegas Elisabeth.

Hal ini juga sejalan dengan pemikiran Prof. Jonathan Haidt, seorang psikolog sosial dan penulis buku The Anxious Generation. Dalam bukunya, Haidt menyoroti bagaimana paparan media sosial yang tidak terkendali sejak usia dini menjadi salah satu faktor meningkatnya gangguan kecemasan dan penurunan fungsi kognitif pada generasi muda.

Setelah koneksi terbangun, Ayah dan Bunda bisa mulai dengan langkah-langkah berikut: 

  1. Membangun hubungan yang hangat dan terbuka serta jadilah tempat anak bercerita tanpa takut dihakimi
  2. Hindari memaksa anak dan selalu mereka dalam proses diskusi
  3. Buat peraturan yang harus disepakati bersama tentang penggunaan gadget
  4. Alihkan perhatian anak ke aktivitas lain yang nyata dan menyenangkan

Langkah Preventif untuk Melindungi Anak dari Paparan Konten Menyimpang

Untuk menghadapi fenomena brain rot dan derasnya konten digital yang menyimpang, peran orang tua sangat besar dalam membentuk kebiasaan digital anak yang sehat dan aman.

Berikut beberapa langkah preventif dari Elisabeth yang dapat diterapkan Ayah dan Bunda :

1. Batasi Kepemilikan Gadget Pribadi

    Anak-anak di bawah usia 14 tahun, idealnya tidak memiliki gadget pribadi. Jika memiliki, pastikan aksesnya terbatas dan tetap tanamkan bahwa itu bukan miliknya sehingga Ayah dan Bunda tetap memiliki kontrol penuh.

    2. Gunakan Gadget di Area Terbuka

      Pastikan anak tidak menggunakan gadget secara sembunyi-sembunyi di kamar. Mintalah mereka menggunakan gadget di ruang keluarga, ruang makan atau area yang mudah dipantau.

      3. Buat Aturan Penggunaan Gadget Sejak Awal Diberikan

        Sebelum memberikan gadget, buatlah kesepakatan bersama. Tentukan durasi screen time, jenis konten yang boleh diakses dan jam yang screen time yang diinginkan anak.

        4. Aktifkan Fitur Filtering atau Parental Control

          Ayah dan Bunda bisa menggunakan fitur filtering konten dan parental control, terutama untuk anak usia di bawah 12 tahun. 

          5. Dampingi Anak saat Bermain Gadget

            Jangan biarkan anak mengonsumsi konten sendirian. Biasakan untuk menonton bersama Ayah dan Bunda, terutama konten berkualitas seperti film atau kartun yang edukatif dan memiliki alur cerita jelas. 

            Let's share

            Picture of Nazri Tsani Sarassanti

            Nazri Tsani Sarassanti

            Daftar Isi Artikel

            Updates