Pernah dengar ungkapan bahwa “pola asuh ibarat warisan” ?
Ungkapan tersebut ternyata juga diamini oleh beberapa ahli psikologi. Menurut mereka, pola asuh yang dibawa Ayah atau Bunda sedikit banyak sama dengan pola asuh yang diterapkan oleh kedua orang tuanya dulu.
Misalnya seorang Ayah yang saat kecil dididik secara otoriter, maka kemungkinan besar ketika ia memiliki anak, pola asuh otoriter jugalah yang diterapkannya.
Namun masalahnya tidak semua orang diwarisi pola asuh yang sama. Mungkin saja sang Ayah dididik secara otoriter, sementara Bundanya dibesarkan dengan gaya asuh yang berbeda.
Alhasil saat memiliki anak, akan ada perbedaan pola asuh di antara mereka. Lalu, apakah dampaknya dan bagaimana cara mengatasinya?
Jenis Pola Asuh
Alia Mufida, M.Psi, seorang psikolog anak dari Klinik Mentari Anakku menjelaskan bahwa secara teori ada 3 jenis pola asuh, yaitu otoriter, permisif dan demokratis/otoritatif.
Pada jenis pola asuh otoriter, anak dipaksa untuk selalu mengikuti semua perintah orang tua tanpa diberikan penjelasan mengapa aturan tersebut diterapkan.
Intinya anak harus selalu mengikuti kemauan orang tua. Jika Ayah mengatakan A maka harus A. Sebaliknya, bila Bunda ingin B maka harus B.
Tidak ada yang namanya tawar menawar, sehingga pola asuh otoriter kerap disebut ‘tembok batu’.
“Bila sudah seperti ini bisa saja terjadi ketidakseimbangan antara tuntutan dan responsif. Orang tua banyak menuntut tapi kurang responsif pada kebutuhan anak,” jelas psikolog yang akrab disapa Fida.
Berbanding terbalik dengan otoriter, orang tua dengan pola asuh permisif justru melimpahkan banyak kasih sayang namun begitu longgar dan tak konsisten menerapkan aturan.
Padahal seperti yang kita tahu aturan sengaja diterapkan agar anak bisa disiplin dan tumbuh jadi pribadi yang baik. Namun sayangnya pola asuh seperti ini cenderung mengabaikannya.
“Orang tua dengan pola asuh ini kerap beranggapan yang penting anak senang sehingga selalu mewujudkan permintaannya. Tak heran jika pola asuh permisif bisa dibilang lembek dan serba boleh,” tambah Fida.
Lebih lanjut Fida mengatakan hal ini terjadi karena orang tua tidak ingin anaknya merasa sedih atau tidak menyukai mereka, hingga akhirnya orang tua selalu menuruti keinginan anaknya.
Terakhir, ada pola asuh demokratis/otoritatif. Pola asuh jenis inilah yang sebenarnya disarankan oleh banyak ahli.
Pola asuh otoritatif digambarkan seperti pohon, di mana akarnya diibaratkan sebuah aturan, sementara anak-anak sebagai pucuknya.
“Dengan menerapkan pola asuh seperti ini, anak-anak tetap bisa bereksplorasi dengan berpegang pada batasan atau aturan yang telah ditetapkan,” kata Fida.
Berhubung pola asuh jenis ini memberikan kasih sayang yang cukup serta diimbangi dengan aturan yang jelas, maka anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, percaya diri, dan berani mengambil keputusan sendiri.
Tips Mengatasi Perbedaan Pola Asuh
Perbedaan pola asuh antara Ayah dan Bunda dapat membuat anak cenderung memilih pihak mana yang bisa mewujudkan keinginannya. Akibatnya, mereka akan kehilangan respek pada salah satu yang dianggap kurang berpihak dengan dirinya.
Bila hal tersebut terus terjadi, bukan tidak mungkin anak akan selalu mencari celah aturan sehingga membuatnya menjadi pribadi yang tidak disiplin.
Didikan tersebut juga dapat terbawa ketika si kecil mulai masuk ke komunitas sosial seperti sekolah.
“Karena terbiasa mengakali aturan di rumah, maka mereka juga jadi tidak mau tahu soal aturan di sekolah. Itu sebabnya tidak sedikit anak yang bermasalah di sekolah. Alasannya bisa jadi karena perbedaan pola asuh yang didapatnya di rumah.” tegas Fida.
Bila hal tersebut terjadi, Fida menyarankan agar orang tua segera memperbaikinya. Alangkah lebih baik mengarahkannya pada pola asuh otoritatif.
“Kuncinya adalah komunikasi dan diskusi. Orangtua perlu paham bahwa anak butuh aturan namun jangan sampai mengekangnya. Berikan kasih sayang penuh dan imbangi dengan aturan yang sesuai agar si kecil berperilaku baik, memahami normal sosial, disiplin dan mandiri,” tutup Fida.