Tanpa disadari, anak sering meniru apa yang dilakukan orang tuanya, mulai dari cara berbicara, kebiasaan kecil, hingga ekspresi emosi. Kebiasaan meniru ini menandakan fase penting dalam proses tumbuh kembang anak. Melalui kemampuan meniru, anak belajar memahami dunia di sekitarnya dan membangun dasar perilaku serta karakter.
Menurut para ahli perkembangan anak, perilaku meniru (imitation) adalah bagian alami dari proses belajar sosial. Anak belajar dengan mengamati dan menirukan orang terdekat, terutama orang tua. Itulah mengapa sikap dan kebiasaan orang tua memiliki peran besar dalam membentuk kepribadian anak sejak dini.
Mengapa Anak Meniru Orang Tua?
Perilaku meniru muncul sejak usia dini, bahkan sejak bayi berusia beberapa bulan. Studi dari Child Development Research menunjukkan bahwa bayi mulai mampu meniru ekspresi wajah sederhana seperti tersenyum atau menjulurkan lidah sejak usia 6 bulan. Seiring bertambahnya usia, kemampuan ini berkembang menjadi cara belajar yang kompleks seperti meniru kata-kata, tindakan, hingga nilai-nilai yang ditunjukkan oleh orang tua.
Meniru adalah bentuk observational learning, di mana anak memahami apa yang baik atau buruk dari apa yang mereka lihat. Karena itu, setiap tindakan, nada bicara, hingga cara orang tua menyelesaikan masalah akan direkam dalam ingatan anak dan bisa menjadi dasar perilaku mereka di masa depan.
Dampak Positif dan Negatif dari Perilaku Meniru yang Dilakukan Anak
Kalau dilakukan dalam lingkungan positif, kebiasaan meniru ini bisa jadi hal yang luar biasa. Anak belajar sopan santun, empati, disiplin, dan tanggung jawab dari teladan yang orang tua tunjukkan setiap hari.
Misalnya saat anak melihat ayah dan bunda membaca buku sebelum tidur, maka mereka cenderung tertarik dengan buku. Atau saat anak melihat orang tuanya rajin membereskan rumah, anak akan terbiasa menjaga kerapian. Begitu pun dengan anak yang mendengar orang tua berbicara sopan, maka mereka meniru cara bicara yang sama.
Dengan kata lain, perilaku orang tua sehari-hari menjadi “sekolah pertama” bagi anak.
Sebaliknya, jika anak sering menyaksikan pertengkaran, bentakan, atau perilaku negatif di rumah, hal tersebut juga bisa mereka tiru. Anak bisa menganggap perilaku tersebut normal, dan tanpa sadar membawanya ke kehidupan sosialnya kelak.
Penelitian dari Journal of Family Psychology mengungkapkan bahwa anak yang tumbuh di lingkungan penuh konflik lebih mudah mengalami stres emosional dan kesulitan mengatur emosi. Karena itu, penting bagi orang tua untuk berhati-hati, bukan hanya dalam tindakan, tapi juga dalam ekspresi emosi di depan anak.
Cara Menjadi Teladan yang Baik untuk Anak
Menjadi panutan tidak berarti harus sempurna. Justru, orang tua bisa menunjukkan cara menghadapi kesalahan dan memperbaikinya. Berikut beberapa langkah yang bisa ayah dan bunda lakukan untuk menjadi teladan yang baik bagi anak:
- Tunjukan perilaku positif setiap hari. Umumnya, anak lebih mudah meniru daripada mendengar nasihat. Maka, berusahalah untuk menjadi cerminan yang baik bagi mereka.
- Kelola emosi dengan sehat. Bukan tidak boleh marah, namun cobalah untuk mengelola emosi dengan lebih baik. Misalnya dengan meluapkan amarah dengan cara yang positif.
- Libatkan anak dalam aktivitas positif. Misalnya, ajak anak membantu pekerjaan rumah, membaca bersama atau berbagi dengan orang lain.
- Konsisten antara ucapan dan tindakan. Anak lebih mudah menangkap ketidaksesuaian antara apa yang dikatakan dan dilakukan orang tua. Itu sebabnya, konsistensi membangun rasa percaya dan stabilitas emosi menjadi suatu hal yang krusial.
Fase anak meniru orang tua adalah masa emas yang menentukan arah perkembangan karakter dan kebiasaan mereka di masa depan. Saat orang tua menyadari bahwa setiap tindakan adalah contoh, maka rumah bisa menjadi tempat belajar terbaik bagi anak.