Konsep childfree sebenarnya bukan suatu hal yang baru, khususnya di negara barat. Childfree sendiri adalah istilah yang disematkan pada pasangan yang telah menikah namun memilih untuk tidak memiliki anak.
Menurut Cambridge Dictionary, childfree merujuk pada orang-orang yang memilih untuk tidak mempunyai anak atau berada dalam kondisi yang menyebabkannya tidak punya anak.
Keputusan ini tentunya diambil secara sadar dan penuh pertimbangan. Mereka yang memutuskan untuk tidak memiliki keturunan pasti telah mempertimbangkan banyak faktor, mulai dari aspek psikologi, keuangan, juga kritik dari orang sekitar.
Di Indonesia sendiri konsep childfree masih sangat tabu. Kita tidak familiar dengan konsep pernikahan tanpa anak sehingga berujung pada penghakiman. Padahal, sebelum kita beropini tentang sesuatu, penting bagi kita untuk tahu alasan mengapa pasangan memutuskan untuk childfree.
1. Memiliki Masalah Kesehatan
Tidak semua orang memiliki anugerah untuk bisa memiliki anak. Ada beberapa masalah kesehatan yang menjadi pertimbangan, salah satunya adalah masalah kesuburan.
Selain itu, memiliki anak juga dapat berisiko bagi orang-orang yang memiliki penyakit tertentu, seperti penyakit kelainan darah (Thalasemia).
Penyakit ini dapat diturunkan melalui genetik dan menyebabkan penderitanya harus melakukan transfusi darah sepanjang usianya.
Inilah mengapa beberapa pasangan memilih untuk chidlfree, karena mereka tidak ingin mengambil risiko besar tersebut atau merasa tidak mampu merawat anak dengan baik karena kondisi yang dideritanya.
2. Ingin Habiskan Waktu Berdua dengan Pasangan
Selain karena kesehatan, ada lho pasangan yang sudah merasa cukup dengan kehadiran satu sama lain tanpa ingin menambah anggota baru. Mereka yang memilih childfree dengan alasan ini biasanya ingin menjaga keintiman dengan pasangan dan hanya ingin berbagi cinta berdua.
Mereka memiliki komitmen yang kuat satu sama lain dan hanya ingin menua bersama dengan penuh romansa.
3. Sibuk dengan Pekerjaan
Di era milenial, karir menjadi prioritas utama. Pasangan yang berada di usia produktif, seperti 20-30 tahun, waktunya tersita oleh pekerjaan kantor. Rumah biasanya hanya menjadi tempat singgah. Jangankan waktu untuk mengurus dan merawat anak, mereka bisa jadi sulit sekali untuk menyisihkan waktu berduaan dengan pasangan.
Jika alasannya seperti ini, maka bisa jadi childfree cukup bijak untuk dipilih. Sebab, lebih baik berkomitmen untuk tidak punya anak daripada harus memaksakan diri. Jangan sampai anak tumbuh tanpa kasih sayang dan perhatian yang cukup dari kedua orang tuanya.
4. Lingkungan Kurang Suportif
Lingkungan pasti memengaruhi pola pikir dan tindakan kita dalam melakukan sesuatu. Mereka yang memilih untuk childfree biasanya hidup di lingkungan yang tidak mendukung untuk punya keturunan. Orang-orang di sekitar mereka bisa jadi juga memilih untuk childfree atau lebih memilih untuk mengalokasikan waktunya pada karir.
Selain itu, berada dalam lingkungan yang memperlihatkan sulitnya tanggung jawab sebagai orang tua juga bisa memengaruhi pasangan-pasangan muda untuk menolak berada di situasi yang serupa.
5. Keterbatasan Finansial
Meski ada ungkapan ‘banyak anak, banyak rezeki’, hal itu belum tentu menguatkan pendapat pasangan-pasangan baru untuk langsung punya anak. Terlebih jika mereka belum memiliki hunian pribadi, memiliki banyak tanggungan dan menjadi ‘Generasi Sandwich’.
Apalagi, biaya hidup saat ini semakin tinggi. Sulit bagi mereka untuk merencanakan kehadiran buah hati sementara persiapan biayanya melonjak tinggi. Jangankan tentang biaya pendidikan, biaya selama hamil, susu anak, popok, rasanya sulit dijangkau.
Semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, namun jika finansialnya terbatas, harus apa?
6. Masalah Trauma Masa Kecil
Faktor yang terakhir adalah trauma saat kecil. Tidak semua orang memiliki kehidupan masa kecil yang bahagia dengan orang tua lengkap yang penuh kasih sayang. Banyak dari kita yang bisa jadi masih memiliki luka atau trauma masa kecil yang bersarang di hati.
Ada yang mungkin tumbuh tanpa kasih sayang ibunya, tidak kenal dengan bapaknya, atau bahkan memiliki keduanya namun tidak mendapatkan kasih sayang dan sering mengalami kekerasan.
Luka masa kecil yang tidak disembuhkan bisa menjadi trauma yang akan selalu terbayang seumur hidup. Mereka takut akan mengalami kegagalan ketika menjadi orang tua seperti yang dilakukan orang tua mereka dulu.
Ada ketakutan besar bahwa anaknya akan merasa kecewa dan tidak bahagia karena memiliki orang tua seperti mereka.
Mereka yang mengalami hal ini tentu tak bisa di-judge sembarangan. Mereka perlu pendampingan psikolog agar bisa menyembuhkan lukanya dan melangkah ke depan tanpa terbebani trauma masa lalu.