check it now

Tips Memahami Bahasa Emosi Anak Agar Komunikasi yang Lebih Hangat

Bahasa emosi anak kerap ditunjukkan lewat perilaku sehari-hari. Artikel ini membahas tips memahami dan merespons emosi anak agar komunikasi orang tua dan anak semakin hangat.

Daftar Isi Artikel

Bahasa emosi anak merupakan bentuk komunikasi awal yang digunakan anak untuk mengekspresikan perasaannya. Berbagai perilaku, seperti menangis, berubah sikap, atau bereaksi lewat tubuh, sering kali menjadi sinyal atas apa yang sedang mereka rasakan. Memahami bahasa emosi ini membantu orang tua membangun hubungan yang lebih hangat dan penuh kelekatan dengan anak.

Sebelum anak fasih berbicara, mereka terlebih dahulu berkomunikasi lewat tubuh dan perilakunya. Inilah mengapa respons orang tua terhadap perilaku anak memegang peranan penting dalam perkembangan emosionalnya.

Menurut Mariska Johana, M.Psi., Psikolog, dunia emosi anak sangatlah kaya, meski belum sepenuhnya dapat diungkapkan secara verbal.

Anak-anak memiliki dunia emosi yang sangat kaya. Mereka bisa merasa marah, kecewa, takut, atau sedih dengan intens, hanya saja belum mampu menjelaskannya secara verbal. Karena itu, emosi sering kali muncul lewat tindakan,” jelasnya.

Mengenal Bahasa Emosi Anak

Bahasa emosi anak adalah bentuk komunikasi nonverbal yang digunakan anak untuk menyampaikan perasaan dan kebutuhannya. Perilaku yang ditunjukkan anak bukan muncul tanpa alasan, melainkan menjadi sinyal atas apa yang sedang mereka rasakan.

Ketika anak belum mampu mengatakan “aku lelah” atau “aku takut”, tubuh dan perilakunya yang berbicara lebih dulu.

Dalam keseharian, bahasa emosi anak dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti menangis atau rewel tanpa sebab yang jelas, menempel terus pada orang tua, melempar barang, memukul, diam mendadak, atau bahkan tertawa berlebihan.

Perilaku-perilaku tersebut sering kali disalahartikan sebagai kenakalan atau sikap manja. Padahal, itu merupakan bentuk komunikasi yang belum bisa diungkapkan lewat kata-kata.

Perilaku adalah bahasa pertama anak. Dengan memahaminya, orang tua bisa mengetahui apakah anak lelah, takut, atau sedang membutuhkan rasa aman,” terang Mariska.

Kesalahan Umum Orang Tua dalam Merespons Emosi Anak

Tanpa disadari, banyak orang tua masih merespons emosi anak dengan cara yang kurang tepat, seperti menyuruh anak berhenti menangis atau memintanya diam. Respons semacam ini berpotensi membuat anak merasa bahwa perasaannya tidak penting atau tidak layak didengar.

Menurut Mariska, pendekatan tersebut justru dapat berdampak negatif dalam jangka panjang. “Ia akan belajar menekan emosinya, bukan mengelolanya. Akibatnya, saat besar nanti mereka bisa mudah meledak atau justru sulit mengekspresikan diri,” ungkapnya.

Tips Membangun Komunikasi Emosional yang Efektif dengan Anak

Agar komunikasi emosional antara orang tua dan anak terbangun dengan sehat, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan:

  • Turun ke level anak, tatap matanya, dan dampingi dengan tenang agar ia merasa dihargai.
  • Temani anak melewati emosinya dengan hadir di sampingnya tanpa banyak bicara, atau tawarkan pelukan jika ia menginginkannya.
  • Ciptakan ruang yang aman agar anak dapat menenangkan diri.
  • Validasi emosi anak, karena perasaan anak sama nyatanya dengan perasaan orang dewasa.
  • Arahkan perilaku anak saat meluapkan emosi ke arah yang lebih positif.
  • Berikan contoh cara menenangkan diri dan menyampaikan perasaan dengan kata-kata.

Cara Melatih Anak Mengenali dan Mengelola Emosinya

Selain merespons dengan tepat, orang tua juga dapat melatih anak agar lebih mengenali dan mengelola emosinya. Mariska menjelaskan bahwa proses ini perlu dilakukan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa langkah yang bisa diterapkan antara lain mengenalkan nama-nama emosi melalui kartu, gambar wajah, atau boneka. Orang tua juga dapat melatih teknik menenangkan diri seperti menarik napas dalam atau memeluk diri sendiri.

Refleksi sebelum tidur dengan menanyakan hal yang membuat anak merasa senang atau sedih, serta menggunakan cerita atau roleplay untuk belajar empati, juga sangat membantu.

Anak belajar paling efektif dari apa yang mereka lihat. Misalnya saat orang tua berkata, ‘Bunda lagi kesal, bunda tarik napas dulu ya,’ anak akan meniru cara sehat mengelola emosi,” imbuhnya.

Membangun kecerdasan emosi pada anak membutuhkan waktu, kesabaran, dan konsistensi. Namun, ketika anak merasa aman untuk mengekspresikan diri, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri, tangguh, dan mampu membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.

Yang dibutuhkan anak bukan orang tua yang memadamkan emosinya, melainkan yang mendampinginya melewati emosi tersebut,” tutup Mariska.

Let's share

Picture of Nazri Tsani Sarassanti

Nazri Tsani Sarassanti

Daftar Isi Artikel

Updates