Kasus bullying yang menimpa mahasiswa Universitas Udayana, Timothy, kembali membuka mata publik bahwa bullying tak kenal usia. Perundungan tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah dasar atau remaja, tetapi juga bisa muncul di bangku kuliah hingga dunia kerja. Fenomena ini menunjukkan bahwa perilaku bullying merupakan masalah sosial yang perlu diwaspadai sejak dini, terutama oleh orang tua dalam membentuk karakter anak agar memiliki empati dan kepercayaan diri yang kuat.
Apa Itu Bullying dan Mengapa Bisa Terjadi di Semua Usia?
Bullying atau perundungan adalah tindakan agresif yang dilakukan secara berulang dengan tujuan menyakiti atau merendahkan orang lain. Bentuknya bisa berupa fisik, verbal, sosial, atau bahkan digital melalui media sosial.
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus perundungan di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, dan tidak hanya menimpa anak-anak di sekolah, tetapi juga mahasiswa dan pekerja muda.
Baca Juga : Kasus Bullying pada Anak Terus Berulang, Lakukan Ini untuk Memutus Rantainya!
Perundungan bisa terjadi karena beberapa faktor, seperti keinginan menunjukkan kekuasaan, tekanan sosial, atau rendahnya kemampuan mengelola emosi. Pada remaja dan dewasa muda, lingkungan kompetitif dan budaya “senioritas” juga sering memperkuat perilaku ini.
Dampak Bullying bagi Korban
Dampak bullying tidak bisa dianggap sepele. Secara psikologis, korban bisa mengalami stres, depresi, hingga trauma jangka panjang.
Dalam kasus Timothy, tekanan dan perundungan yang ia alami disebut membuatnya kehilangan rasa aman dan kepercayaan diri, hingga berujung pada tragedi yang memilukan.
Pada anak-anak dan remaja, bullying bisa memengaruhi perkembangan sosial dan emosional. Anak mungkin menjadi menarik diri, sulit percaya pada orang lain, bahkan menurunkan performa akademik di sekolah.
Baca Juga : Bahaya Bullying dari Sisi Korban dan Pelaku
Peran Orang Tua Dalam Mencegah Bullying
Orang tua punya peran besar dalam mencegah dan menghadapi bullying. Langkah sederhana seperti membangun komunikasi terbuka di rumah, mengajarkan empati, serta memberi contoh bagaimana memperlakukan orang lain dengan hormat bisa membuat perbedaan besar.
Beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua:
- Ajarkan anak mengenali emosi dan batas diri. Anak perlu tahu bahwa tidak semua candaan itu lucu, dan mereka berhak menolak perlakuan yang membuat tidak nyaman.
- Bangun kepercayaan diri. Anak yang percaya diri lebih kecil kemungkinannya menjadi korban atau pelaku bullying.
- Pantau interaksi digital. Di era media sosial, cyberbullying bisa muncul kapan saja tanpa disadari.
- Laporkan bila perlu. Jangan ragu mencari bantuan ke pihak sekolah atau lembaga terkait jika tanda-tanda bullying sudah terlihat.
Kasus seperti yang dialami Timothy menunjukkan bahwa bullying bisa menimpa siapa saja. Tugas kita bersama, sebagai orang tua, pendidik, dan masyarakat adalah memastikan anak tumbuh dalam lingkungan yang aman, penuh empati, dan bebas dari perundungan.
Sebab bullying bisa dicegah dengan cara menciptakan budaya saling menghargai, mulai dari rumah. Selain itu, program seperti edukasi anti-bullying, pelatihan empati, dan konseling bisa membantu membangun lingkungan yang lebih sehat bagi anak dan remaja.