Stunting masih menjadi persoalan yang belum menemukan titik terang. Baru-baru ini, diketahui angka stunting melonjak begitu tinggi di Jember. Hal ini disinyalir disebabkan oleh tingginya kasus pernikahan dini di wilayah tersebut.
Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) RI, angka pernikahan dini di wilayah Jember mencapai lebih dari 50 persen.
Provinsi Jawa Timur sendiri merupakan salah satu penyumbang angka pernikahan dini tertinggi di Indonesia. Bahkan, tak jarang masyarakat di sana mengajukan dispensasi nikah untuk melakukan pernikahan dini.
Dispensasi nikah ialah salah satu upaya yang dilakukan calon pengantin agar bisa menikah, meski belum mencukupi usia awal pernikahan. Cara ini biasanya dilakukan oleh orangtua dari calon pengantin yang belum cukup umur, yang diajukan ke Pengadilan Agama setempat agar mendapat izin nikah.
Padahal, pemerintah telah menetapakan batas usia minimal pernikahan di usia yang sangat muda, yakni usia 19 tahun. Meski begitu, masih banyak pasangan di bawah umur yang tidak mengajukan dispensasi menikah dan memilih untuk menikah ‘sirih’ yang tidak tercatat oleh negara.
Ketidaksiapan mental dan kurangnya edukasi pada orangtua muda ini, membuat mereka kesulitan dan keliru dalam menangani tumbuh kembang anak. Terutama di masa golden age, yakni 1000 Hari Pertama Kehidupan si kecil.
Tak ayal, hal ini menyebabkan banyak bayi yang tumbuh tidak dengan gizi yang cukup dan menyebabkannya mengalami stunting.
Baca Juga: 6 Karakter Anak Sulung yang Selalu Jadi Andalan!
Mengapa Kasus Pernikahan Dini Marak di Indonesia?
Ada beberapa faktor yang melatar-belakangi banyaknya anak-anak remaja di wilayah Jawa Timur memilih untuk melangsungkaan pernikahan dini. Di antaranya sebagai berikut:
1. Faktor Ekonomi Jadi Sebab Pernikahan Dini
Keluarga dengan ekonomi rendah cenderung melihat pernikahan sebagai sebuah solusi dari permasalahan hidupnya. Mereka berpikir, menikahkan anak di usia sedini mungkin dapat meringankan beban keluarga. Dapat dikatakan, pernikahan dini dianggap sebagai ajang lepas tanggung jawab orangtua dengan harapan anaknya bisa hidup lebih layak dna bertanggung jawab dengan pasangan hidupnya.
2. Faktor Pendidikan yang Rendah
Orangtua dengan pendidikan rendah cenderung memutuskan sesuatu melalui apa yang terjadi di sekitarnya tanpa menimbang baik-buruknya. Pernikahan dini dianggap sebagai sebuah tren atau budaya yang terjadi di masyarakat. Mereka terjebak dan pasrah pada stereotip yang ada di masyarakat, terutama tentang anjuran untuk menikah di usia dini.
3. Faktor Budaya dan Tradisi
Seperti yang disebutkan di atas, ketidakmampuan masyarakat dalam menolak budaya yang sudah puluhan tahun berlangsung menjadi penyebab maraknya pernikahan dini. Misalnya, anggapan bahwa lamaran pernikahan tidak boleh ditolak, padahal usia pengantinnya masih sangat belia. Bisa juga persepsi bahwa perempuan setelah mengalami menstruasi harus segera dinikahkan, dan sebagainya.
Hal-hal seperti ini yang masih banyak dipercaya dan menyebabkan banyaknya kasus pernikahan dini, dispensasi nikah, hingga pernikahan yang tidak tercatat negara.
4. Faktor Media Sosial dan Internet
Berbagai tren muncul di media sosial setiap harinya, termasuk tren nikah muda. Bahkan, tren ini menjadi sebuah gerakan yang dinormalisasi. Seakan-akan menikah muda merupakan solusi dari berbagai permasalahan zaman.
Tak hanya itu, keleluasaan dalam mengakses informasi di media sosial, terutaman yang berkaitan dengan pornografi, membuat banyak remaja penasaran dan mencoba seks bebas. Hal ini menimbulkan banyaknya kasus hamil di luar nikah dan berakhir dengan pernikahan dini.
Kasus Stunting di Jember Meningkat Gara-Gara Pernikahan Dini
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Kabupaten Jember berada di angka 39,4%. Angka ini menjadi yang tertinggi di Provinsi Jawa Timur.
Stunting di Jember yang mayoritas disebabkan oleh pernikahan dini, menjadi permasalahan yang cukup genting. Untuk itu, BKKBN RI secara khusus menggelar Edukasi Bidan dan Intervensi Stunting di Kabupaten Jember untuk menangani hal ini.
Anak yang mengalami stunting biasanya tidak mendapatkan nutrisi yang cukup atau mengalami infeksi berulang pada masa 1000 Hari Pertama Kehidupan.
Masalah stunting bukan suatu hal yang remeh ya, Yah, Bun. Stunting merupakan ancaman kualitas generasi muda. Jika Indonesia terus-menerus melahirkan anak-anak stunting, maka generasi muda ke depan tidak akan tumbuh sesuai dengan potensinya.
Anak yang mengalami stunting tidak hanya terganggu dalam perkembangan fisiknya, tetapi juga memengaruhi pertumbuhan otak yang berhubungan dengann kemampuan, produktivitas, dan kreativitas si kecil.
Bagaimana Cara Menangani Stunting?
Stunting hanya bisa dicegah dan diatasi dengan pemenuhan gizi dari protein hewani yang baik. Selain itu, ada beberapa cara yang bisa dilakukan Ayah dan Bunda dalam mengatasi dan mencegah anak stunting.
- Memberikan ASI eksklusif pada bayi hingga usia 6 bulan.
- Memantau perkembangan anak dan melakukan pemeriksaan ke Posyandu secara berkala.
- Memberikan MPASI yang bergizi dan kaya akan protein hewani ketika bayi berusia di atas 6 bulan.
- Pada Bunda yang sedang hamil, jangan lupa untuk mengonsumsi tablet tambah darah demi kesehatan si kecil.