Diego Luister Berel atau biasa dikenal dengan Diego Berel ialah salah satu pelukis Indonesia yang begitu berbakat.
Bagaimana tidak? Diego Berel di usianya yang masih belia mampu menjadi juara pertama dalam pameran lukisan virtual bertema Artfusion di The Holy Art Gallery, London, UK.
Lukisan Diego yang berjudul ‘Balinese Penjor’ berhasil terpilih menjadi karya terbaik di antara ribuan lukisan dari seniman seluruh dunia yang dikuratori galeri seni independent tersebut.
Diego Berel menuangkan dan menerjemahkan tiupan angin yang menerpa penjor pada banjar di Bali melalui media kanvas dan cat akrilik.
Permainan warna yang tegas namun lembut, dan berkarakter dalam tiap goresan, membuat ‘Balinese Penjor’ yang dilukis Diego Berel terlihat begitu mempesona.
Tak hanya ‘Balinese Penjor’, ada 4 lukisan lainnya yang lolos kurator dan dipamerkan di The Holy Art Gallery. Keempatnya adalah ‘Twilight of the Cliffs’, ‘Somewhere in Venice’, ‘The Wrath of Gods of Winds’, dan ‘Mount Semeru Lava’.
Ayah dan Bunda perlu tahu, Diego dengan prestasi sehebat ini ternyata memiliki gangguan perkembangan (down syndrome). Kegigihan dan perjuangannya untuk bisa sehebat ini tentu tidak mudah.
Simak yuk, beberapa fakta Diego Berel yang secara eksklusif diungkapkan oleh sang Bunda, Sandra Berel, pada SBH. Inspiratif banget!
Baca Juga: Kenali ‘Secure Attachment’, Ikatan Penting yang Sering Diabaikan Orangtua
1. Tak Ada Tanda-Tanda Down Syndrome Saat Bayi
Bunda dari Diego mengungkapkan bahwa saat bayi, Diego sama sekali tidak menunjukkan ciri-ciri anak down syndrome. Semuanya tampak normal, Diego tampak sehat dan menggemaskan layaknya bayi pada umumnya.
Dokter yang menangani persalinannya pun menyatakan bahwa apgar score dari Diego Berel mencapai angka 10. Apgar score adalah pemeriksaan yang dilakukan setelah bayi lahir untuk memastikan bayi dalam kondisi sehat.
Dugaan tentang adanya masalah pada kesehatan Diego ditemukan oleh Bunda dari Sandra. “Waktu itu ketika Ibu saya mau memandikan Diego, tiba-tiba ketika digendong dari kasur, bagian lehernya selalu ketinggalan (tidak kuat untuk menyangga kepala),” ujarnya.
Sandra tentu mulai resah, sebab sang Bunda pastinya telah berpengalaman mengurus anak dan bisa mendeteksi jika ada yang salah dengan tumbuh-kembang bayi.
Setelah dugaan tersebut, Sandra langsung menindak-lanjuti kondisi putra kecilnya ke spesialis tumbuh-kembang anak. Setelah ditelusuri masih tidak ditemukan tanda-tanda down syndrome pada Diego.
Hal ini semakin membuat Sandra merasa bingung. “Rasanya masih ada yang mengganjal, mau disebut down syndrome tapi ciri-cirinya tidak terlihat saat bayi,” paparnya.
2. Diego Berel Jalani Tes Darah
Akhirnya, Sandra berinsiatif untuk langsung membawa putranya cek darah agar ia tahu dengan pasti apa yang terjadi dengan Diego.
“Sebelum cek darah, saya sempat konsultasi sama dokternya. Hasilnya tetap sama, secara fisik tidak terlihat tanda-tanda down syndrome, namun saya tetap melaksanakan tes darah,” kata Sandra.
Hasil dari tes darah ini ternyata memakan waktu yang cukup lama. Sandra baru bisa mengetahui hasilnya ketika Diego berusia 1 tahun.
“Ternyata setelah tes darah, baru ketahuan kalau kromosomnya 21, saya cukup syok saat itu,” ucapnya.
3. Jalani Banyak Terapis Sedari Kecil
Sandra tak larut dalam kesedihan ketika tahu putra tercintanya mengalami gangguan perkembangan. Justru sebaliknya, ia menerima dan mempasrahkan takdir yang telah digariskan Tuhan untuk keluarganya.
Bunda dari Diego Berel ini begitu semangat untuk berkonsultasi ke dokter tentang apa yang harus ia lakukan. Hingga akhirnya, dokter menyarankan agar Diego menjalani berbagai terapi terpadu yang mendukung motoriknya.
“Akhirnya dilakukan terapi untuk motorik kasar, terapi terpadu. Diego belajar mengatur keseimbangannya, dilatih hingga bisa berjalan dengan benar sesuai dengan usia anak normal,” tutur Bundanya.
4. Diego Berel Merasa Tak Cocok Di SLB
Di usianya yang ke-4, Sandra menyekolahkan Diego Berel di sekolah pra TK umum. Sebab, ia menganggap masa itu hanya dihabiskan untuk bermain, melatih motorik, menyanyi dan menari. Selanjutnya, Diego menghabiskan waktunya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sekitar Jakarta Selatan.
“Saat itu saya menyekolahkan dia di SLB dengan keyakinan paling tidak dia bisa bersosialisasi. Diego sekolah di SLB hingga usia 12 tahun, tapi sekolah itu nggak cocok buat Diego,” paparnya.
Ketidakcocokkan ini disebabkan oleh kurikulum SLB yang menggunakan metode slow learner. “Jadi metode belajarnya sama seperti sekolah normal pada umumnya, namun dipermudah,” lanjutnya.
5. Menemukan Tempat Belajar Terbaik di Daya Pelita Kasih Center
Sandra merasa bersyukur ketika akhirnya Tuhan memberikannya petunjuk untuk menyekolahkan Diego di salah satu sekolah yang berada di Pejaten.
Sekolah yang bernama Daya Pelita Kasih Center ini dianggap lebih cocok untuk Diego karena kurikulumnya mengedepankan aktivitas dan kreativitas daripada akademis.
“Di sekolahnya itu guru-gurunya memang spesialis. Visi-misinya pun sama dengan kami, yaitu semua orang itu berharga di mata Tuhan. Jadi, nggak mungkin anak lahir tanpa sesuatu yang dibawa dari Tuhan,” ucapnya.
Di sekolah tersebut, Diego dan teman-temannya diberi banyak aktivitas yang menyenangkan agar mereka bisa menemukan bakatnya. Aktivitas tersebut mulai dari membatik, berenang, bermusik, hingga melukis.
6. Diego Berel Mulai Mengenal Dunia Lukis
Di usianya yang menginjak 12 tahun, Diego Berel mulai mengenal dunia lukis. “Di sekolah Diego, ada guru lukis professional yang mengajarkan anak-anak untuk melukis. Saya kaget ketika mendapat laporan dari sekolah kalau Diego ini memiliki talenta melukis,” tutur Sandra dengan bangga.
Sontak hal tersebut membuat Sandra lega, rasa takut yang sempat membelenggu hatinya perlahan mulai hilang. Ia bersyukur kepada Tuhan yang telah menjawab doa-doa yang selalu dipanjatkan.
Setelahnya, Ayah dan Bunda Diego Berel semakin giat untuk memotivasi Diego dalam hal seni dan mendorongnya agar bisa berkreasi dengan senang.
7. Pameran Lukisan Pertama Kali Hingga ke Bali
Dalam mendukung bakat seni Diego Berel, tak hanya orangtua yang menjadi support system tetapi juga dari pihak sekolah. “Karena rutin itu ya pelajaran melukis, jadi seminggu sekali pameran,” tuturnya.
Pamerannya pun dilakukan di hotel-hotel bintang 5 mulai dari Hotel JS Luwansa, Pullman, The Sultan Hotel & Residence, hingga Hotel Alila Seminyak di Bali.
“Anak-anak tuh jadi semangat, lho! Diego juga senang kalo lukisannya dilihat orang, dijual juga. Nanti ada yang tanya, ‘siapa artisnya?’ Dia jawab ‘Saya’,” ujar Sandra dengan semangat.
8. Inspirasi Melukis dari Keinginan dan Lingkungan Sekitar
Sebagai seorang Bunda yang melihat proses Diego sejak kecil hingga sekarang, satu hal yang penting menurut Sandra adalah menghargai tiap proses yang dijalani sejak bakatnya ditemukan.
“Jadi, lukisan pertama Diego itu judulnya ‘the tree’ atau ‘life tree’. Bentuknya pohon tanpa ada daunnya, warna pink. Saya tanya ke dia, ‘ini gambar apa?’ dia jawab, ‘pohon kehidupan’,” papar Sandra.
Sejak itu, bakatnya diasah terus oleh guru lukisnya di sekolah. Sandra sebagai orangtua juga memberikan kebebasan pada Diego Berel unutuk mengeksplor.
“Sejak kecil, Diego itu suka melihat apa saja, dia itu sensitif. Misalnya dia lihat Kalimutu di TV, dia bisa langsung buat lukisannya dari imajinasinya,” lanjutnya.
9. Selain Dunia Lukis, Diego Berel Mencintai Musik dan Budaya Indonesia
Ternyata putra Sandra Berel ini tak hanya menggilai dunia seni lukis, tetapi juga mencintai musik dan budaya Indonesia. “Dia tuh cinta budaya Indonesia, dia senang ke museum, melihat ciri khas provinsi satu dan lainnya di TMII, dia senang sekali,” tutur Sandra.
Bahkan, Diego Berel gemar menyanyikan lagu-lagu daerah Indonesia, lho! Diego juga sangat mencintai Bali dan budayanya karena kota tersebut sangat berkesan untuknya.
“Itulah mengapa lukisan Diego banyak menggambarkan desa-desa di Bali dan berhubungan dengan budaya yang ada di Bali,” jelasnya.
10. Diego Berel Punya Disiplin yang Tinggi
Sandra mengakui, mengurus anak yang memiliki down syndrome memang membutuhkan spesialisasi khusus. “Kita sebagai orangtua harus konsisten dan membuat schedule sendiri,” tuturnya.
Konsistensi yang keluarga bentuk tentu bisa membuat anak jadi ikut konsisten dan hidupnya menjadi terpola. “Seperti waktu melukisnya Diego, dari awal saya sudah tanya, ‘Diego mau melukis itu jam berapa?’, dia jawab ‘habis makin siang’,” ucapnya.
Sejak itu, Diego terbiasa untuk mulai berkreasi dengan cat akrilik dan kanvasnya selepas makan siang, hingga sekarang. Kalau tidak terbiasa hidup disiplin dan terpola, anak dengan berkebutuhan khusus akan bingung dan membuat mood-nya berantakan.
11. Jadi Inspirasi Semua Orang
Dengan beragam prestasi dan semangat yang ada pada Diego Berel, Sandra berharap bahwa putranya bisa menjadi inspirasi bagi semua orang.
“Saya ingin Diego bisa menginspirasi banyak orang dengan hasil karyanya. Menjadi inspirasi juga bagi anak-anak yang normal untuk tidak mudah putus asa, sebab Diego yang berkebutuhan khusus saja bisa menemukan passion-nya,” terang Sandra.
Sandra dan Diego Berel pun sudah sering diundang di berbagai talkshow untuk menginspirasi orangtua yang juga mempunyai anak berkebutuhan khusus.
“Kita harus percaya bahwa Tuhan akan menolong, karena Dia yang menitipkan anak ini ke kita. Jadi, jangan berhenti untuk menyemangati anak-anak kita,” tutup Sandra.