Ayah dan Bunda biasanya hanya berfokus pada tumbuh-kembang si kecil yang sifatnya tampak saja, seperti tumbuh giginya, bobot beratnya, tinggi badannya, dan semacamnya. Padahal, ada hal yang sama pentingnya dengan pertumbuhan fisik si kecil, yakni perkembangan emosional anak.
Kemampuan emosional yang berkembang dengan baik sesuai dengan usia anak, membuatnya dapat dengan mudah mengenali, mengekspresikan dan mengelola emosinya sendiri.
Si kecil yang mampu mengelola perasaannya dan melewati tahap perkembangan emosionalnya dengan baik, dapat menjadi pribadi yang positif dan lebih percaya diri.
Tentunya, keberhasilan si kecil dalam masa pengenalan emosi ini harus dibantu dan didampingi oleh orangtuanya. Ayah dan Bunda juga harus tahu, perkembangan emosional si kecil selalu berbeda-beda sesuai dengan usianya.
Baca Juga: Anak Terlanjur Melihat Konten Tak Sesuai Umur, Bunda Harus Apa?
Memangnya, Tahap Perkembangan Emosional Anak Ada Apa Aja Sih?
Psikolog Klinis RS EMC Alam Sutera, Woro Kurnianingrum, S.Psi, M.Psi, Psikolog., menyebut tahap perkembangan emosional anak dimulai dari sejak ia lahir hingga dewasa.
Tahap perkembangan emosional anak dapat dibagi menurut perkembangan si kecil berdasarkan usianya, yaitu:
1. Usia Bayi (0-1 tahun)
Pada tahap usia ini, bayi mulai mampu mengembangkan emosional dasar. Contohnya, seperti perasaan senang, sedih, marah, takut, dan jijik.
Ragam emosi ini ditunjukkan dengan ekspresi tersenyum, tertawa, dan berkomunikasi awal melalui tangisan ketika ia merasa sedih, takut, atau tidak nyaman.
2. Usia Toddler (1-3 tahun)
Pada usia ini, tahap perkembangan emosional bayi ditunjukkan dengan cara ia mulai membedakan lingkungan terdekatnya. Anak mulai mengembangkan egonya, rasa ke-aku-an dan menyatakan kepemilikan.
Tahap Toddler juga memungkinkan si kecil untuk berperilaku mandiri dan mencoba melakukan berbagai hal sendiri.
Sejalan dengan itu, anak juga mulai merasakan malu, ragu-ragu, atau bahkan frustasi ketika ia tidak berhasil melakukan sesuatu. Hal tersebut memungkinkan ia untuk melakukan tantrum ketika apa yang ia kehendaki tidak tercapai.
Dalam perkembangan kognitifnya, anak mulai dapat meniru ekspresi atau perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia juga mula belajar mengenal dan memahami aturan, belajar tentang apa yang baik dan boleh ia lakukan.
Proses belajarnya ini seringkali ditunjukkan dengan sikap melawan atau bahkan menentang ketika apa yang ia lakukan tidak sesuai aturan.
3. Usia Kanak-Kanak Dini / Early Childhood (3-6 tahun)
Tahap usia yang satu ini seringkali disebut sebagai usia bermain atau masa pra sekolah. Ini adalah tahap di mana anak mulai mengenal lingkungan lain selain orang-orang terdekat di dalam keluarga.
Pada masa ini, anak mulai mengembangkan inisiatif, keinginan untuk mencoba eksplorasi atau melakukan banyak hal. Tak heran, di tahap ini juga anak mulai merasa bersalah ketika gagal atau ketika ia melakukan kesalahan.
4. Usia Kanak-Kanak Menengah / Middle Childhood (6-12 tahun)
Ini adalah tahap yang dimaksud sebagai usia sekolah pada anak. Di usia ini, anak mulai memiliki aktivitas rutin, yakni bersekolah. Anak mulai merasa bahwa hubungan pertemanan adalah sesuatu yang juga penting, selain keluarga.
Anak mulai mengembangkan perasaan empati. Ia melihat situasi pada orang lain dan belajar memahami bagaimana pikiran dan perasaan yang dapat timbul dalam situasi sosial tertentu. Ia juga mulai memikirkan perkataan dan pandangan orang lain terhadap dirinya di masa ini.
Selain itu, si kecil juga mulai mencari dan mengenal kelebihan serta kemampuannya pada bidang tertentu. Ia juga mulai mempunyai rasa tidak percaya diri hingga merasa rendah diri jika ia menilai dirinya gagal, kurang, atau tidak dapat melakukan sesuatu seperti yang diharapkan lingkungannya.
Bagaimana Peran Orangtua dalam Menyikapi Tahap Perkembangan Emosional Anak?
Seperti yang disebut di awal, peran orangtua memang sangat dibutuhkan dalam perkembangan emosional anak.
Sebab, Ayah dan Bunda lah yang mampu melihat dan menilai ekspresi wajah dan perilaku si kecil.
“Orangtua dapat melihat apakah anak sedang merasa bahagia, sedih, takut, jijik, atau merasa marah,” ujar Woro.
Oleh sebab itu, Ayah dan Bunda dapat menyikapi ragam emosi yang diekspresikan si kecil dengan memvalidasi perasaannya.
Kemudian, Woro juga mengatakan banhwa orangtua perlu memberi ruang kepada anak agar dapat mengekspresikan emosi yang ia rasakan sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi.
“Serta, memberi respon yang sesuai dengan emosi yang ditampilkan si kecil,” tambahnya.
Misalnya, jika anak sedang merasa sedih berlebihan karena nilainya ulangannya jelek, maka berikan ia ruang untuk merasakan sedih terlebih dahulu, jangan dimarahi. Fasilitasi perasaannya, lalu berikan ia kepercayaan untuk bisa memperbaiki kesalahannya di ulangan yang akan datang serta dorong ia untuk bisa lebih semangat dalam belajar.
Orangtua perlu hadir, tak hanya dalam bentuk validasi, tetapi juga membantu menenangkan, mengarahkan, dan mendampingi anak dalam mengelola emosi yang ia rasakan.
“Ayah dan Bunda juga diharapkan dapat memberi contoh atau teladan dalam mengekspresikan emosi yang dirasakan secara sehat sesuai dengan situasi yang dihadapi,” kata Woro.
Ciri-Ciri Anak yang Perkembangan Emosionalnya Berjalan Sempurna
Woro menyebut perkembangan emosi yang baik pada anak, umumnya ditandai dengan:
- Anak mampu membangun hubungan positif dengan orang lain.
- Anak mampu memahami perasaan dan kebutuhan orang lain.
- Anak tak mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan orang lain secara baik.
- Anak mampu memahami, mengatur, serta berekspresi emosi sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Apa yang Terjadi Jika Emosional Anak Tidak Berkembang Semestinya?
Perkembangan emosional anak itu kan sebenarnya sesuatu yang natural dan merupakan bakat yang telah ia miliki sejak lahir, seperti perasaan senang, sedih, marah, takut dan jijik.
Nah, kelima emosi tersebut kemudian berkembang berdasarkan pengalaman hidup yang diperoleh anak sepanjang hidupnya.
“Termasuk dengan mencontoh ekspresi dan perilaku orangtua, atau orang lain di sekitarnya dalam beremosi ketika menghadapi sesuatu, bisa juga melalui tayangan televisi atau konten media sosial yang ditonton anak,” paparnya.
Psikolog Klinis yang aktif berpraktik di RS EMC Alam Sutera ini mengatakan bahwa ada kemungkinan anak mengalami kegagalan dalam perkembangan emosional.
“Anak dapat mengalami kegagalan dalam perkembangannya jika terdapat masalah atau peristiwa yang membuatnya trauma dalam salah satu tahapan emosionalnya,” pungkas Woro.
Kegagalan ini dapat dilihat melalui perilaku emosi anak tahap perkembangannya. Ayah dan Bunda harus cermat melihat apakah tuntutan dalam tahap perkembangan emosionalnya telah sesuai atau belum.
“Oleh sebab itu, orangtua perlu mencoba memahami apa yang dirasakan dan dialami anak dengan mengenali tuntutan pada tiap tahapan perkembangan emosional anak,” tutupnya.