Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jika penderita down syndrome di seluruh dunia mencapai 8 juta jiwa. Diperkirakan jika setiap tahunnya, ada sekitar 3000-5000 anak lahir dengan kelainan ini.
Sayangnya, hingga saat ini belum terungkap dengan jelas mengapa down syndrome begitu banyak menjangkiti manusia.
Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah mendeteksinya sejak dini, sehingga persiapan dan rencana perawatan pun bisa dilakukan lebih awal.
Lalu bagaimana cara mendeteksi down syndrome? Dan seperti apa langkah yang harus dilakukan?
Penyebab Down Syndrome
Down syndrome adalah kondisi dimana seseorang mengalami keterbelakangan fisik dan mental akibat perkembangan dari kromosom yang abnormal.
“Normalnya manusia memiliki 23 pasang kromosom atau sama dengan 46 salinan. Namun pada kasus down syndrome, kromosom ke-21 memiliki 1 salinan ekstra sehingga menjadi 3 atau 47 salinan,” terang dr. Matthew Simanggunggsong Sp.OG.
Kromosom itu sendiri adalah kumpulan DNA yang membawa informasi herediter atau turunan yang berperan dalam menentukan tinggi badan, warna kulit hingga warna mata.
“Adapun penyebab kelainan kromosom tersebut sampai saat ini masih menjadi misteri. Namun sejumlah faktor seperti genetika, usia kehamilan yang terlalu tua atau di atas 35 tahun dianggap sebagai pemicu kelainan ini,” lanjut dokter Matthew.
Cara mendeteksi Down Syndrome
Lebih jauh dokter Matthew mengatakan bahwa seiring berkembangnya teknologi, maka down syndrome dapat dideteksi sejak masa kehamilan.
Deteksi tersebut dapat dilakukan tepatnya pada trimester 1, saat usia kandungan berkisar 10-14 minggu atau sekitar 2,5 sampai 3 bulan.
“Adapun untuk mendeteksinya dapat melalui berbagai pemeriksaan. Umumnya memang dimulai dengan skrining awal yaitu melalui USG,” lanjutnya.
USG yang dilakukan bisa 4D maupun 3D. Nantinya gejala down syndrome dapat terdeteksi dari ada atau tidaknya tulang hidung janin dan terjadinya penebalan pada leher belakang.
Apabila dokter kandungan yang memeriksa mendapati kelainan tersebut, maka biasanya dokter akan merujuk pada tes lain yang lebih spesifik seperti Tes Amniocentesis atau Non-Invasive Prenatal Testing (NIPT).
Namun perlu diketahui, Tes Amniocentesis ini lebih berisiko dibanding NIPT. Alasan mengapa dikatakan lebih berisiko karena prosedur pelaksanaannya.
Tes Amniocentesis dilakukan dengan cara memasukan jarum ke dalam rahim untuk mengambil cairan ketuban lewat panduan USG.
Padahal seperti yang kita tahu, janin di dalam rahim biasanya akan terus bergerak sehingga jarum tersebut bisa saja menusuknya dan mengakibatkan luka atau infeksi. Atau ada juga risiko lain seperti air ketuban menjadi bocor dan lain sebagainya.
Sedangkan tes NIPT cukup dilakukan dengan mengambil darah ibu. Darah tersebut kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa apakah ada kelainan kromosom atau tidak. Cara ini jelas lebih aman dan tidak berisiko besar.
Janin positif Down Syndrome
Masih menurut dokter Matthew, jika janin positif down syndrome, maka tidak ada cara yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengobatinya.
Meski demikian, down syndrome ini perlu dideteksi sejak dini agar calon orang tua dapat mulai mempersiapkan semuanya lebih awal, termasuk soal penanganan dan perawatan untuk anaknya kelak yang menderita down syndrome.
“Jadi perlu saya tekankan, tes guna mengetahui apakah janin menderita down syndrome atau tidak bukan untuk melakukan hal-hal yang keji seperti aborsi, melainkan untuk langkah persiapan lebih awal bagi calon orang tua,” tutup dokter Matthew.