check it now

Mungkinkah Si Kecil Mengalami Depresi?

Benarkah anak bisa mengalami depresi?

Daftar Isi Artikel

sumber: freepik

Depresi ternyata tidak hanya diderita orang dewasa, anak-anak pun bisa mengalaminya. Apa saja indikasi dan bagaimana cara mencegahnya?

Sering bingung bila melihat si kecil murung, tidak ceria dan sering menyendiri? Jangan-jangan itu tanda bahwa ia terkena depresi. Tapi, apakah mungkin bila si kecil terkena depresi?

Jawabannya “iya”. Meski pada hakikatnya, depresi sering mendera orang dewasa, namun tidak menutup kemungkinan semua orang termasuk anak kecil pun bisa mengalaminya.

Depresi tergolong sebagai gangguan mental umum pada emosi seseorang yang mampu mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Begitupun pada anak kecil, depresi bisa diamati apabila ada indikasi emosi atau tingkah laku yang berbeda dari biasanya.

Misalnya, si kecil sering terlihat murung, sedih, kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah, kesulitan berkonsentrasi, pola tidur yang tidak baik, nafsu makan berubah dan kurang bersemangat menjalani aktivitas.

Sani B Hermawan, Psikolog Anak dan Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani menuturkan banyak kecenderungan yang menyebabkan seorang anak bisa mengalami depresi. Mulai dari faktor internal maupun eksternal.

Secara internal, stres atau depresi pada anak bukanlah suatu penyakit yang diturunkan secara genetik. Pemicu internal lebih didominasai pada kondisi Ibu saat masa kehamilan. Ibu yang sering stres saat hamil, dapat membawa pengaruh yang buruk, baik secara fisik maupun psikis pada bayi dalam kandungan.

Meski demikian, Ibu tak perlu khawatir. Pasalnya faktor internal dapat dengan mudah hilang seiring perkembangan fisik, emosi dan mental mendapat arahan yang tepat.

Adapun untuk faktor eksternal adalah yang berasal dari lingkungan sekitar. Menurut Sani, lingkungan dapat menjadi pemicu yang paling sering membuat anak galau dan depresi. Setelah mengenal lingkungan lebih luas—bisa lingkungan sekolah atau pertemanan—, anak lebih rentan mengalami depresi ketimbang sebelumnya.

“Zaman semakin maju, teknologi yang diaplikasikan dalam bentuk hiburan, mainan dan lain sebagainya semakin banyak. Dengan adanya iming-iming tersebut, membuat anak ingin turut ambil bagian. Padahal mereka atau orangtuanya belum tentu bisa memenuhinya. Demikian pula halnya dengan pendidikan, persaingan dan tututan semakin ketat yang memaksa mereka harus selalu menjadi yang terbaik entah itu di sekolah atau ditempat lainnya. Hal tersebutlah yang dapat memicu anak-anak menjadi stres.” papar Sani.   

Secara sederhana, tidak terwujudnya ekspektasi atau apa yang diinginkan seorang anak dengan kenyataan yang ada dapat membuat mereka. Kekecewaan tersebutlah yang tak jarang menimbulkan depresi pada diri anak.

Di sisi lain, anak—pada rentang usia 5-12 tahun—belum memiliki kemampuan mengatur emosinya secara baik. Karenanya peran orangtua amatlah penting. Pasalnya dari sejumlah kasus depresi pada anak, dominan pasiennya adalah mereka yang mengalami bencana alam, kecelakaan atau berada jauh dari orangtuanya.

Pentingnya psikososial self management

Melindungi anak dari depresi dengan menjauhkannya dari faktor pemicu eksternal adalah sebuah hal yang tidak mungkin. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan orangtua adalah membentengi anak dengan psikososial self management.

Psikososial self management adalah suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengatur emosi positif dan emosi negatif dalam dirinya agar tetap seimbang. Fungsinya apabila anak dihadapkan pada situasi yang tidak sesuai dengan harapannya, maka dirinya secara otomatis mampu mengganti emosi negatif dengan pemikiran-pemikiran positif.

“Sebagai contoh, anak yang sudah rajin belajar namun gagal memperoleh juara pertama, melainkan hanya memperoleh juara ketiga, lantas ia merasa sedih dan kecewa. Sebenarnya hal tersebut wajar. Namun, anak yang memiliki psikososial self management akan mampu menerjemahkan permasalahan tersebut dengan lebih positif dan tidak akan merasa kecewa apalagi sampai sedih berlebihan.” tegas Sani.

Anak yang memiliki psikososial self management mampu mengelola setiap permasalahan dan emosi negatif dengan lebih baik sehingga dapat menghasilkan emosi positif. Saat kecewa, anak yang memiliki psikososial self management tidak akan berlarut-larut pada rasa kecewanya, melainkan akan mengganti rasa kecewa tersebut dengan rasa syukur.

sumber: freepik

Selain itu, ia pun akan lebih bersemangat dan menganggap kegagalan atau rasa kecewa tersebut sebagai tantangan untuk belajar lebih baik ke depannya. Anak dengan bekal psikososial self management sejak dini akan menjadi pribadi yang lebih tangguh di masa depan.

Karenanya, lebih jauh Sani menegaskan bahwa peran orangtua sangat diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai positif sedini mungkin.  

“Ajarkan anak untuk berpikir realistis dengan tidak selalu memenuhi permintaan mereka. Beri pengertian bahwa segala sesuatu yang mereka inginkan harus didapat dengan kerja keras dan perjuangan.” tambahnya.

Cara paling sederhana dalam menyampaikan nilai-nilai positif tersebut yaitu dengan berdiskusi langsung dengan anak. Diskusi yang dilakukan tidak melulu harus serius. Diskusi yang dilakukan dapat berupa obrolan ringan sembari bermain atau menonton televisi bersama anggota keluarga lainnya. Tidak hanya itu, orangtua juga perlu menjadi contoh langsung bagi anak. Ingatlah bahwa anak adalah peniru ulung. Jadi orangtua harus memperhatikan cara dalam menghadapi masalah dan mengelola emosi.

“Namun tetap untuk beberapa kasus depresi berat pada anak, penangan serius tetap harus diserahkan kepada psikolog atau psikiater. Melalui penanganan oleh profesional, depresi anak akan lebih mudah dideteksi sehingga dapat ditemukan solusi penyembuhannya. Bisa berupa terapi psikososial self management maupun dengan konsumsi obat (antidepresan) dalam dosis yang tepat.” tutup Sani.

Let's share

Picture of Nazri Tsani Sarassanti

Nazri Tsani Sarassanti

Daftar Isi Artikel

Updates