Anak yang terbuka pada perbedaan akan selalu memiliki kesempatan yang lebih luas untuk sukses. Karenanya, jangan segan mengajarkan keberagaman dan toleransi sejak dini.
Hari Kemerdekaan memang akan selalu mengingatkan kita kembali akan pentingnya toleransi. Maklum, Indonesia adalah negara multikultural. Itu sebabnya, toleransi harus jadi fondasi, demi bersatunya aneka suku, bahasa, dan agama
Di sekolah, toleransi sebenarnya sudah selalu diajarkan dan berusaha ditanamkan sejak dini. Bahkan jauh hari sebelum kita lahir, para bapak bangsa sudah menanamkan nilai toleransi lewat berbagai cara. Mulai dari menelurkan Pancasila sebagai dasar negara, hingga membangun berbagai simbol kerukunan, seperti mendirikan rumah ibadah yang berdekatan layaknya Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta.
Tapi itu semua sepertinya belum cukup. Buktinya masih ada saja kasus intoleransi di negeri tercinta ini, baik dalam skala kecil maupun besar. Karena itu, orangtua diharapkan dapat turut berperan dalam menumbuhkan wawasan tentang indahnya keberagaman pada anak sejak dini. Sebab sejatinya, sikap dan kepribadian anak dibentuk pertama kalinya melalui keluarga dan lingkungan.
Akar Intoleransi
Sifat intoleransi, dalam hal ini rasis, memang kerap mengancam. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga hampir di seluruh belahan dunia. Terkait hal tersebut, seorang ahli psikologi bernama Lisa Scoot dari University of Massachusetts, Amerika pernah mengungkapkan jika bayi berusia 5 bulan awalnya tidak bisa membedakan warna kulit yang gelap atau terang. Baru di usia 9 bulan, bayi mampu mendeteksi adanya perbedaan tersebut, sehingga mereka cenderung lebih suka bermain dengan bayi lain yang warna kulitnya sama.
Namun para peneliti sepakat bahwa hal itu bukanlah rasisme. Sebab setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata bayi cenderung lebih suka bermain dengan bayi lain yang warna kulitnya sama karena mereka kurang atau tidak memiliki pengalaman berinteraksi dengan bayi yang warna kulitnya berbeda.
Dengan kata lain, bayi akan merasa kurang nyaman dan cemas ketika melihat sesuatu yang tidak familiar. Hal ini tentunya jauh berbeda dari makna rasisme itu sendiri yang merupakan sifat membenci akibat perbedaan ras yang lebih condong dilakukan oleh orang dewasa.
Senada dengan hal tersebut, Maria Ulfah, M.Psi yang berprofesi sebagai dosen psikologi dari Universitas Mercu Buana mengatakan, jika bayi tentu saja tidak memiliki sifat rasis. Begitupun dengan anak-anak, mereka pada dasarnya bisa bermain tanpa mempedulikan suku, ras dan agama. Hanya saja jika sejak kecil anak-anak dibiarkan bermain dengan kelompok tertentu, maka hal tersebut bisa memicu timbulnya sikap intoleransi.
“Pada dasarnya anak-anak memang tidak peduli akan adanya perbedaan warna kulit, suku, ras maupun agama. Orang dewasa atau lingkunganlah yang biasanya membuat mereka menjadi mengerti. Itu sebabnya, penting untuk membiarkan anak bermain dengan siapa saja tanpa memandang SARA, sehingga mereka akan terbiasa dengan adanya perbedaan,” lanjutnya.
Manfaat Toleransi
Seperti yang telah dikatakan Maria, anak-anak awalnya memang masih bersih dari sifat buruk yang bernama rasisme. Meski demikian, yang namanya anak-anak pasti selalu ingin tahu. Karena itu, jangan kaget jika si kecil tiba-tiba melontarkan berbagai pertanyaan mengenai keberagaman seperti “kenapa rambut si A keriting aku lurus?” atau “kenapa si B sekolah minggu tapi aku sholat?” dan lain sebagainya.
Bila pertanyaan sejenis itu akhirnya muncul dan orangtua belum tahu cara untuk menjawabnya, maka disarankan jangan mengalihkan perhatiannya atau bahkan memarahinya. Sebab hal tersebut justru bisa membuat si kecil berpikir bahwa perbedaan adalah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Lebih baik minta waktu pada anak untuk berpikir dan mencari tahu jawabannya.
Selain itu, Maria meminta orangtua untuk menjadi teladan bagi buah hatinya dengan cara selalu menghormati siapapun juga, dan tidak mengolok-olok orang lain berdasarkan suku, agama dan ras. Memberi keleluasaan kepada anak untuk bergaul dengan teman-teman yang memiliki budaya atau kepercayaan yang berbeda juga sangat disarankan. Dengan demikian anak bisa lebih berpikiran terbuka dan mengenal indahnya perbedaan.
“Saya juga ingin mengingatkan jika yang namanya toleransi itu bukan hanya sebatas pada adat, budaya atau agama yang berbeda saja. Tapi juga pada kawan yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna. Jadi jangan pernah lelah untuk selalu menjelaskan kepada mereka bahwa ketidaksempurnaan kawannya bukanlah bahan untuk di olok-olok,” pungkasnya.
Lebih lanjut dikatakan jika sifat toleransi yang dimiliki anak kelak akan sangat bermanfaat. Sebab anak yang terbiasa bertoleransi akan lebih mudah beradaptasi dan lebih berani bereksplorasi. Mereka juga dikatakan lebih siap terjun ke lingkungan yang multikultural. Alhasil, pintu sukses pun akan terbuka lebih lebar.