Sebagian besar orang tua mungkin belum menyedari bahwa maloklusi pada anak bisa dimulai sejak usia dini. Masalanya hal tersebut tidak hanya berdampak pada estetika semata, tapi dapat mengganggu kemampuan mengunyah hingga berbicara.
Penyebab maloklusi ini ternyata bisa berasal dari kebiasaan sehari-hari yang tampak sepele, seperti penggunaan dot yang tidak tepat dan kurangnya perawatan gigi sejak dini.
Mengenal Maloklusi pada Anak dan Cara Pencegahannya
Diterangkan oleh drg. Aliyah, Sp.KGA, maloklusi adalah cacat atau gangguan fungsional yang dapat menjadi hambatan bagi kesehatan fisik dan mental.
Seseorang yang mengalami maloklusi akan memiliki susun gigi dan rahang yang tidak sejajar atau tidak normal. Hal ini bisa menyebabkan gigi tampak tidak rapi, bertumpuk, atau bahkan terlalu renggang.
“Di Indonesia sendiri, prevalensi maloklusi sangat tinggi yakni mencapai 80%. Mirisnya, sebanyak 30-60% penderita maloklusi adalah anak di bawah tiga tahun,” kata drg. Aliyah.
Maloklusi, lanjut drg. Aliyah, dapat dipengaruhi oleh beberapa kondisi.
“Pertama, kebiasaan buruk seperti ngempeng atau mengisap jari. Kedua, gigi berlubang yang lepas sebelum waktunya karena dapat meningkatkan risiko gigi berjejal. Dan terakhir kurangnya memerhatikan kebersihan mulut, gusi dan gigi si Kecil sejak dini,” imbuhnya.
Baca Juga : 4 Trik Hentikan Kebiasaan Gigit Kuku pada Si Kecil

Lalu bagaimana cara mencegahnya?
Pada kegiatan Playdate edukatif Bunda Pintar bersama Baby HUKI, drg. Aliyah menekankan kepada orang tua untuk senantiasa memerhatikan fase oral buah hatinya untuk mencegah terjadinya maloklusi. Sebab pada fase oral bayi akan memasukkan semua barang ke dalam mulut.
“Fase ini sangat berpengaruh pada kesehatan gigi dan mulut serta kesehatan menyeluruhnya apabila tidak diperhatikan dengan seksama. Jadi pastikan si Kecil mendapat perawatan gigi yang tepat sejak dini sebagai investasi kesehatan jangka panjang,” tegas drg. Aliyah.
Tak lupa drg. Aliyah juga mengingatkan para orang tua untuk memperhatikan kesehatan mulut si Kecil sekalipun giginya belum tumbuh.
“Sejak lahir mulut bayi harus dibersihkan dengan kasa dan air matang. Lalu saat usianya menginjak 6 bulan, bersihkan gigi yang mulai muncul dengan infant toothbursh. Kemudian seiring usianya bertambah, pastikan si Kecil menyikat gigi sebanyak dua kali selama dua menit setiap harinya dengan dosis pasta gigi yang direkomendasikan sesuai usianya. Terakhir, jadwalkan untuk kunjungan ke dokter gigi empat bulan sekali,” papar drg. Aliyah.
Kurangi Risiko Maloklusi dengan Penggunaan Dot Orthodontic
Sebagai orang tua, kita tentu ingin memberikan yang terbaik untuk tumbuh kembang si Kecil, termasuk kesehatan giginya. Itu sebabnya kita juga perlu aware dengan penggunaan dot. Terlebih bagi si Kecil yang tidak bisa menyusu secara langsung (BDF).
Dilansir dari sejumlah literatur, pemilihan dot yang tepat pada saat pertumbuhan dan perkembangan juga bisa menjadi cara untuk meminimalisir risiko maloklusi pada anak. Termasuk penelitian yang dilakukan oleh Smith dari Inggris pada 2018, ia menyatakan dot orthodontic lebih baik dari dot konvensional.
Seperti yang kita tahu, dot konvensional memiliki bentuk bundar seperti cherry dan memiliki lubang yang terletak di ujungnya sehingga memungkinkan bayi untuk mengisap susu atau cairan lain.
Sementara dot orthodontic itu bentuknya elliptical atau menyerupai puting susu ibu juga sesuai dengan struktur mulut anak-anak untuk mendukung gerakan pada fase oral bayi yakni sucking, swallowing and breathing. Dengan begitu bayi tidak akan bingung puting. Risiko tersedak atau kolik pun lebih minim bahkan tidak ada.
Alasan lainnya mengapa dot orthodontic dianggap baik untuk bayi karena mendukung perkembangan gigi dan rahang yang sehat. Jenis dot ini akan meniru gerakan mengisap alami saat bayi menyusu sehingga tidak mengganggu fungsi rahang.
“Pemilihan dot yang tepat tidak hanya memudahkan si Kecil saat menyusu tapi juga mendukung perkembangannya lebih optimal. Jadi penting sekali untuk memperhatikan pemilihan alat atau bantuan untuk menjaga kesehatan si Kecil, salah satunya dot orthodontic ini, sebagai bentuk kasih sayang atau love language orang tua untuk buah hatinya,” tutup drg. Aliyah.