Kasus KDRT kembali menjadi buah bibir setelah kasus kekerasan yang dialami oleh seorang dokter muda bernama dokter Qory. Perempuan dengan nama lengkap Qory Ulfiyah Ramayanti ini viral di platform X (sebelumnya Twitter) karena kabur dari rumah selama lebih dari 3 hari.
Perempuan yang tinggal di kawasan Nanggewer, Cibinong, Bogor, ini kabur dari rumah lantaran menjadi korban KDRT dari suaminya, Willy Sulistio. Selama pelariannya, dokter Qory diketahui mencari perlindungan ke rumah aman di Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Ia berlindung selama 3 hari, sejak hari Senin hingga Rabu (13-15/11) lantaran takut dengan amukan suaminya. Ketika ditemukan di sana pun, kondisi dokter Qory dipenuhi luka lebam akibat penganiayaan yang dilakukan sang suami.
Berdasarkan hasil visum, dokter Qory mengalami luka memar pada bibir atas sebelah kiri, lengan atas kanan, lengan atas kiri, paha kanan, dan pinggul sebelah kanan.
Luka yang ada di sekujur tubuh dokter cantik ini diduga karena tindakan Willy yang memukul wajah dan kepala korban dengan tangan kosong. Pelaku juga menendang kaki, paha, menginjak leher korban, serta menakut-nakuti dengan pisau secara berulang kali.
Willy Sulistio kemudian ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus KDRT. Ia terjerat Pasal 44 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Ia pun terancam hukuman penjara selama 5 tahun.
Ironisnya, setelah ditetapkan sebagai tersangka, dokter Qory yang saat ini masih dalam pendampingan profesional malah meminta cabut laporan kasus KDRT suaminya. Ia mengaku masih cinta dan memaafkan Willy atas KDRT yang menimpanya.
Tentu hal ini membuat publik geram. Banyak masyarakat yang menilai bahwa apa yang terjadi pada dokter Qory merupakan bentuk dari Stockholm Syndrome. Sebenarnya apa hubungan antara keduanya, ya?
Baca Juga: 8 Parenting Ayah ala Harvard Bikin Anak Perempuan Kuat!
Stockholm Syndrome Itu Apa?
Stockholm Syndrome atau sindrom Stockholm merupakan gangguan psikologis pada korban penyanderaaan yang membuat mereka merasa simpati atau bahkan menyayangi pelaku. Sindrom ini menjadi sistem pertahan yang dilakukan korban dalam menghadapi tindak kekerasan yang dialami.
Sindrom Stockholm juga menjadi coping mechanism bagi korban penculikan atau tindak kekerasan agar bisa bertahan dari kekerasan yang berkelanjutan. Secara emosional, para korban akan berusaha untuk fokus pada sisi baik yang dimiliki pelaku kekerasan.
Siklus kekerasan yang berkelanjutan dan isolasi dari dunia luar juga membuat korban dengan sindrom Stockholm merasa harus bertahan dengan pelaku kekerasan. Hal ini juga ia lakukan agar dirinya dan orang-orang yang ia cintai tetap selamat.
Mereka yang terjebak dalam sindrom ini sudah tidak lagi melihat dirinya sebagai korban, melainkan sebagai objek kekerasan tanpa ada nilai lainnya. Simpati berlebihan pada pelaku juga membuat korban tidak lagi memikirkan dirinya.
Gejala Stockholm Syndrome pada Kasus KDRT
Kasus KDRT yang marak terjadi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sindrom Stockholm karena polanya yang mirip. Mereka sebagai korban secara sadar telah mendapatkan perlakuan kasar, namun masih sempat membela pelaku dan menganggap apa yang pelaku lakukan masih bisa dimaafkan.
Orang dengan sindrom ini biasanya menunjukkan gejala sebagai berikut:
- Menunjukkan simpati atau perasaan positif yang berlebihan terhadap orang yang melakukan kejahatan atau menyiksa mereka.
- Menunjukkan perasaan negatif terhadap polisi, figure otoritas, atau siapapun yang mencoba menyelamatkan mereka dari cengkraman pelaku.
- Korban merasakan rasa kemanusiaan dari pelaku kejahatan dan percaya bahwa ia memiliki tujuan yang sama dengan pelaku.
- Mudah kaget, gelisah, mimpi buruk, selalu curiga, sulit konsentrasi, selalu mengenang masa trauma, memiliki perasaan negatif terhadap keluarga atau teman yang mencoba menyelamatkannya.
- Mendukung dan membiarkan pelaku kejahatan melakukan tindakan kekerasan padanya.
Cara Menangani Korban KDRT dengan Stockholm Syndrome
Dalam menangani korban sindrom Stockholm yang dipengaruhi oleh kasus KDRT, biasanya hal yang perlu dilakukan adalah dengan meresepkan obat anti ansietas untuk mengatasi kecemasan yang dialami.
Korban juga biasanya akan menjalani pengobatan psikoterapi untuk mengatasi pengalaman traumatiknya. Dalam proses psikoterapi, korban akan diajak untuk memahami pengalamannya. Ia harus paham bahwa perilaku simpati berlebih yang ia tunjukkan hanyalah bentuk mekanisme bertahan hidup.
Korban juga akan diajarkan cara untuk melanjutkan hidup secara mandiri dan mengembalikan rasa berdaya atau nilai diri yang ia miliki. Dengan begitu, secara perlahan mereka akan berani untuk lepas dari pelaku kekerasan dan berproses untuk hidup lebih baik.