Sekedar berbagi cerita atau pengalaman seputar parenting dan kehamilan memang tidak masalah. Yang jadi problem ialah ketika kata-kata yang kita lontarkan sebenarnya adalah celaan yang dibungkus dengan label baik bernama nasihat.
Ada berbagai contoh tentang komentar bernada miring tersebut, misalnya:
“Ibu-ibu zaman sekarang sih gak mau ribet, gak mau sakit makanya pilih Caesar dari pada normal,”
“Ibunya sibuk cari uang mulu sih makanya anaknya jadi nempel sama baby sitter,”
“Kok dikasih susu formula? Ibunya gak mau netein ya?”
Komentar bernada miring ini juga kerap kali ditemukan dalam dunia parenting, baik sesama ibu maupun orang lain. Tindakan ini kerap kali disebut dengan istilah moms shamming.
Fenomena ini pun mendapat tanggapan dari ahli kandungan, dr. N. B. Donny A. M., Sp.OG yang mengatakan bahwa budaya mencela ini bisa mengganggu kesehatan ibu hamil yang bersangkutan.
“Dalam konteks kesehatan mental, iklim dan budaya mengkritik atau yang sekarang dikenal dengan mom-shaming, kerap menimbulkan masalah dan tekanan yang mempengaruhi psikologis perempuan. Padahal, kesehatan mental merupakan salah satu aspek kesehatan yang penting untuk diperhatikan terutama saat persiapan kehamilan, selama menjalani kehamilan, dan pada periode pemberian ASI. How to fight mom-shaming? Have a healthy pregnancy dan memiliki pemahaman bahwa kehamilan yang sehat berasal dari kesehatan fisik dan kesehatan mental yang baik,” jelas dokter Donny pada acara Hellobumil beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data dari JakPat sebagai online survey platform yang diadakan pada September 2018 lalu terhadap 574 ibu. Hasil survey menyatakan bahwa seluruh responden pernah mengalami mom-shaming. Pola makan atau berat badan anak menjadi topik yang paling banyak dikritik. Disusul oleh topik mengenai pemberian ASI atau susu formula dan metode ibu dalam menerapkan kedisiplinan. Kebanyakan responden mengalami mom-shaming secara langsung dan dalam kondisi yang privat.
Selebihnya terjadi di media sosial dan 7 dari 10 responden mengaku bahwa kejadian mom-shaming ini semakin meningkat sejak adanya media sosial. Dampaknya adalah, untuk sebagian responden, mom-shaming mendorong mereka untuk lebih proaktif dalam mencari informasi yang tepat mengenai kesehatan dan pola asuh anak.
Namun, untuk responden lainnya, mom-shaming memengaruhi ketahanan mental atau menjadikan mereka malu sehingga mereka merasa perlu untuk mengubah gaya asuh mereka.
Yang menarik dari hasil survey ini adalah 24% dari responden yang pernah menjadi korban berpotensi meniru atau melakukan hal yang sama (mom-shaming) kepada ibu lainnya. Oleh sebab itu, agar hal ini tak terus terjadi maka langkah yang bisa dilakukan adalah dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu untuk tidak mencela ibu lain. Sebaiknya bertanyalah dengan baik dan penuh empati.